Menelaah Durga Ra Nini: Bidadari dan Iblis Asli Indonesia, dari India hingga Candi-candi Nusantara

22 Oktober 2021, 16:29 WIB
Ilustrasi Durga Ranini, Bidadari dan Iblis asli Indonesia. Tangkapan layar YouTube/@ASISIChannel /

LAMONGAN TODAY - Salah satu elemen penting di dalam candi-candi beraliran Siwa adalah, adanya sosok Durga yang biasanya diletakkan di sisi Utara.

Ada keunikan dengan sosok Durga di Jawa dibanding tokoh-tokoh yang lain, karena dia merekam perkembangan sosial di dalam masyarakat Jawa kuno.

Misalkan, jika Anda pergi ke Candi Prambanan dan melihat sisi Utara dari candi utamanya, Anda akan menemukan Arca Roro Jonggrang yang sangat legendaris itu.

Baca Juga: Rachel Vennya Gunakan Mobil Vellfire Plat RFS, Masuk Kategori Milik Pejabat Publik? Ini Kata Polisi

Nama Roro Jonggrang memiliki arti wanita yang berpinggang ramping. Karena memang sosok ini menampilkan sosok wanita yang berpinggang ramping. Dialah Durga.

Namun, hanya berjarak 2,5 jam berkendara, dari titik Roro Jonggrang, Anda akan menemukan Durga yang lain, tepatnya di Candi Sukuh, Karanganyar.

Anehnya, Durga di Candi Sukuh memiliki taring, berambut gimbal dan memimpin bala tentara roh jahat.

Baca Juga: Sinopsis Film Zathura Tayang di Movie Trans7: Sebuah Permainan Papan yang Menjadi Kejadian Nyata

Siapakah Durga yang benar-benar unik ini? Dan apa kaitannya dengan perkembangan sosial masyarakat Jawa kuno?

Sebelum menyingkap lebih jauh bahasan yang unik ini, ada beberapa hal mendasar yang perlu kita ketahui.

Masyarakat Jawa kuno yang beraliran Siwa, memercayai adanya dewa.

Baca Juga: Jadwal Acara TV di SCTV Jumat 22 Oktober 2021: Ada UEFA Europa League Napoli vs Legia Warsawa

Dewa di dalam aktivitasnya, membutuhkan energi. Energi itu disebut Shakti.

Dalam kehidupan sehari-hari, sering dikatakan jika seseorang memiliki kesaktian, maka dia bisa melakukan hal-hal yang luar biasa.

Ini hanya penyerapan kata dan reduksi makna di dalam bahasa keseharian kita, pada kata 'Shakti' itu sendiri.

Baca Juga: Sinopsis Film Mendadak Kaya: Bawa Kabur Uang Miliaran Rupiah, 3 Sekawan Ini dalam Bahaya

Shakti para dewa, dipersonifikasikan sebagai feminim, sementara para dewa dipersonifikasikan sebagai maskulin.

Jadi, masing-masing dewa memiliki Shakti sebagai pasangannya.

Dalam hal ini, Dewa Siwa pasangannya adalah Dewi Parwati atau Dewi Uma.

Baca Juga: Di Festival Drama Internasional Tahun Seluruh Dunia, Amanda Manopo Sabet Gelar Asian Star Prize

Karena orang Jawa kuno percaya bahwa terdapat tiga aspek di dalam diri setiap dewa.

Maka pasangan Siwa pun memiliki tiga aspek yang diwujudkan di dalam bentuk:

Yakni Santa atau aspek ketenangan, diwujudkan sebagai Dewi Parwati atau Dewi Uma.

Baca Juga: Bikin Kabar Hoax Kebangetan, Dalam Keadaan Hamil Tua, Lesti Kejora Dilantik Jadi Bupati Cianjur

Krodha atau ugra, yakni aspek kemarahan, diwujudkan dalam bentuk Durga.

Dan Krura, atau aspek kebengisan, diwujudkan dalam bentuk Dewi Kali.

Mari kita singkap Dewi Durga, siapakah dia?

Baca Juga: Squid Game Masuk Nominasi Penghargaan Tahunan Amerika Serikat, Langsung Dua Kategori

Cerita orisinil Durga adalah demikian:

Dalam komologi Hindu terdapat perang abadi antara kebaikan melawan kejahatan, yang dipersonifikasikan sebagai perang antara dewa melawan asura.

Dipimpin oleh Mahisasura yang berwujud kerbau jantan, kelompok asura menjadi sangat kuat dan mampu mengalahkan para dewa.

Baca Juga: Soal Kabur Karantina, Satgas: Tak Ada Toleransi Sama Sekali, Hukum Pidana 1 Tahun atau Denda Rp100 Juta

Para dewa, dipimpin Dewa Indra dan Dewa Brahma, memohon pertolongan kepada Dewa Siwa, yang saat itu kebetulan sedang berbincang dengan Dewa Wisnu.

Akibatnya, Dewa Siwa dan Dewa Wisnu murka. Dari wajah keduanya memancarkan api yang sangat panas.

Demikian juga dari wajah para dewa yang lain, sehingga terbentuklah gulungan api yang sangat besar.

Baca Juga: Gempa Magnitudo 5,3 Guncang Malang, BMKG: Akibat Aktivitas Zona Subduksi

Gulungan api itu kemudian berubah menjadi seorang wanita yang sangat cantik. Dialah Durga.

Dia juga diberi nama Candika, darimana kita mendapat kata 'Candi', untuk menamai bangunan-bangunan batu dari masa lalu.

Setelah dianugerai berbagai senjata oleh para dewa, Durga pun turun laga dengan mengendarai seekor harimau jantan.

Baca Juga: Hasil Liga 2: Belum Terkalahkan! Sriwijaya FC Kembali dapat Poin Penuh Tumbangkan KS Tiga Naga 2-0

Versi lain menceritakan, dia mengendarai seekor singa.

Terjadi perang yang sangat seru antara Dewi Durga melawan para asura. Hingga akhirnya Dewi Durga mampu membinasakan Mahesasura.

Sejak itu, Durga dikenal sebagai Durga Mahesasuramardini, yang artinya 'Durga sang pembinasa asura.'

Baca Juga: Lolita Hero Terlupakan Season Ini di Mobile Legends, Padahal Counter Mutlak Change dan Granger

Durga inilah yang dikenal orang Jawa kuno sebelum masa Majapahit san diabadikan di berbagai candi-candi Pra Majapahit.

Melihat begitu banyaknya Arca-arca Durga Mahesasuramardini di candi-candi di Jawa, menunjukkan bahwa Durga Mahesasuramardini sangat populer bagi masyarakat Jawa.

Namun dari seluruh arca Durga Mahesasuramardini di Jawa, hanya di Candi Prambanan, yakni Arca Roro Jonggrang yang paling terkenal dan yang paling indah.

Baca Juga: Polisi Bakal Gelar Perkara Kasus Kabur Karantina Rachel Vennya

Durga tidak hanya digambarkan sebagai wanita yang sangat cantik, namun juga adikodrati, yakni dengan memiliki 4, 8 hingga 10 tangan, yang masing-masing memegang senjata pemberian para dewa.

Di India, Durga sangat populer mengendarai harimau. Namun, di Jawa lebih banyak mengendarai kerbau yang merupakan musuhnya.

Salah satu lengan Durga, menjambak rambut seorang raksasa cebol yang telah ditaklukkannya.

Baca Juga: Ron's Gone Wrong Segera Hadir di Bioskop Indonesia, Raline Shah: Pastinya Menghibur Penonton Segala Usia

Raksasa cebol ini adalah kata kunci untuk mempelajari Tantra.

Raksasa cebol ini adalah sifat asli dari Mahesasura yang berwujud kerbau, yakni sifat asura.

Di antaranya adalah kama atau nafsu birahi, kroda atau nafsu amarah, dan Lobha atau nafsu serakah.

Baca Juga: Polemik Partai Demokat Dinilai Rusak Demokrasi, Ini Sebabnya

Sifat asura ini adalah energi yang sangat besar di dalam diri semua manusia, semakin jahat manusia, semakin besar energi itu.

Untuk memusnahkan energi yang demikian besar, dibutuhkan energi shakti yang juga sama besarnya.

Energi shakti yang sangat besar ini, perlu dibangkitkan dari dalam diri.

Baca Juga: Perpanjang Izin HGU, Bupati Kuansing Diduga Terima Suap Rp700 Juta dari PT Adimulia Agrolestari

Energi shakti yang melampaui seluruh cakra inilah yang dipersonifikasikan dengan Durga Mahesasuramardini.

Dengan kedelapan lengannya yang memegang senjata para dewa, sementara energi sifat asura, dipersonifikasikan dengan Mahesasura yang berwujud kerbau dengan intisari yang berwujud raksasa kerdil.

Dengan demikian, Durga Mahesasuramardini yang mampu menghacurkan energi asura di dalam diri manusia.

Baca Juga: Sinopsis Film 'Halloween Kills' Lengkap dengan Daftar Pemain, Kembalinya Michael Myers Sang Peneror

Para pengikut Tantra menjadikan Durga sebagai perlambang untuk dipuja.

Banyak yang mengatakan kalau Tantra terbagi menjadi dua percabangan, yakni kanan atau panengen, dan kiri, atau pangiwa. Namun, tidak demikian adanya.

Meski populer di Jawa Kuno? Tantra merupakan ajaran rahasia, banyak tokoh-tokoh besar yang menganut ajaran Tantra. Di antaranya Raja Kertanegara dari Singasari.

Baca Juga: Sinopsis Film 'The Medium': Film Horor Thailand Hasil Kolaborasi dengan Sutradara Asal Korea Selatan

Di bawah pengaruh Kertanegara, Tantra aliran Bhairawa menjadi berkembang pesat di Indonesia.

Bagi penganut Tantra, kuburan adalah tempat paling suci, karena merupakan pintu menuju alam keabadian, sekaligus pelataran bagi tubuh untuk kembali menjadi unsur Panca Maha Butha menuju siklus selanjutnya.

Jadi, kata kunci kedua adalah kuburan. Yakni, Durga dipuja di kuburan.

Baca Juga: Jadwal Denmark Open 2021 Kamis 21 Oktober 2021: Greysia Polii/Apriyani Rahayu Tantang Wakil Tuan Rumah Denmark

Orang Jawa kuno mempercayai adanya triguna, atau tiga sifat di dalam manusia.

Yakni Sattwa atau tenang dan bijaksana, yang disimbolkan dengan warna putih.

Rajas atau dinamis dan bernafsu, disimbolkan dengan warna merah.

Baca Juga: Gerard Pique jadi Pahlawan Kemenangan Pertama Barcelona di Liga Champions, Bekuk Dynamo Kiev 1-0

Dan tamas atau pasif dan bodoh, dilambangkan dengan warna hitam.

Untuk mencapai kesempurnaan, sifat tamas dan rajas harus dihilangkan.

Ini disimbolkan dengan penumpahan darah, yang sebenarnya berwarna merah dan hitam.

Baca Juga: Mengejutkan! Kepribadian V BTS Berubah menurut MBTI Tes, Ini Sebabnya

Jadi, kata kunci yang ketiga adalah darah. Yakni, Durga dipuja dengan upacara penumpahan darah.

Terdapat kisah purana mengenai kisah shakti Dewa Siwa yang ketiga, yakni Dewi Kali, yang mengalahkan musuh dengan meminum darah mereka, dan Dewi Kali, dianggap sebagai penjaga kuburan.

Maka upacara penumpahan darah ini, menyebabkan Durga dan Kali saljng tumpang tindih, dan akhirnya bagi pengikut Tantra menjadi berbaur.

Baca Juga: Selama Era Jokowi, Ratusan Mahasiswa se-Indonesia Tunut Penuhi Janji-Janji Kampanye

Sehingga muncullah konsep Durga-Kali, yakni Durga yang akhirnya bersifat bengis.

Dari sinlah akhirnya muncul konsep Durga bertaring, yang dikenal juga dengan nama Ranini.

Durga yang bertaring muncul sebagai upaya orang-orang di luar Tantra menidentifikasi Durga yang dipuja oleh para pengikut Tantra.

Baca Juga: Lahirnya Nusantara: Candi Ini Menolak Intoleransi, Peleburan Dua Agama Besar di Indonesia

Para pengikut Tantra aliran Bhairawa, memiliki upacara yang sangat rahasia, yang disebut Panca Makara Puja.

Di antaranya adalah mamsa atau ritual makan daging, dan maithuna atau ritual bersenggama.

Bagi orang di luar Tantra, kesemua ritual ini akan terlihat asusila. Akibatnya, Durga Ra Nini pun dianggap serjng berbuat asusila dengan berselingkuh dan bersenggama.

Baca Juga: Terima Permohonan Maaf, Mantan Kim Seon Ho Lanjutkan Proses Hukum Akibat Komentar Kebencian

Tidak sedikit dari cerita sastea kuno yang menyudutkan Durga sebagai istri yang asusila.

Dalam Kitab Kowarawasrama, Dewi Uma berselingkuh dengan Dewa Surya dan pengembala lembu, sehingga dikuyuk menjadi Durga Ra Nini.

Dalam Kidung Sudamala, Dewi Uma berselingkuh dengan Dewa Brahma dan dikutuk menjadi Durga Ra Nini.

Baca Juga: Pemerintah Wajibkan Tes PCR Penumpang Pesawat, Komisi V: Itu Langkah Mundur!

Namun, kisah dari Kitab Tantu Penggelaran ini sangat representatif dengan Panca Makara Puja.

Diceritakan bahwa, setelah sekian lama peristiwa Dewi Uma berselingkuh dengan pengembala kambing berlalu.

Suatu hari, anak Bathara Guru, atau Dewa Siwa, yakni Kumara datang menghadap ibunya, yakni Dewi Uma.

Baca Juga: Rachel Vennya Penuhi Panggilan Polisi Ihwal Kabur Karantina

Karena tersinggung dengan kata-kata Kumara, Dewi Uma pun membunuh anaknya itu. Diminumnya darah dan dimakannya sumsum Kumara.

Batara Guru yang melihat perbuatan istrinya itu menjadi murka karena merasa jijik.

Dikutuknya Dewi Uma menjadi rasaksi bernama Bathari Durga.

Baca Juga: Sempat kena Penyakit Autoimun, Enzy Storia ungkap Mukjizat dalam Hidupnya dapat Sembuh Hanya Hitungan Jam

Orang Jawa kuno kemudian mengenal sosok Bathari Durga sebagai tokoh demonis yang memimpin siluman dan roh-roh jahat. Istananya di Setra Gandamayit, yakni area kuburan.

Pada era Majapahit akhir, kontras dengan ajaran-ajaran mainstream yang mulai luntur, seiring dengan merosotnya kalangan istana, ajaran Tantra justru semakin kokoh di kalangan arus bawah.

Dengan demikian, Durga Mahisasuramardini yang cantik pun kalah poluler dengab Durga Ra Nini yang bertaring.

Baca Juga: Rahasia di Balik 2 Item yang Direvamp, Ternyata Moonton Buff Hero Uranus dengan Gaya

Pada candi-candi yang lebih tua, hingga masa awal Majapahit, misalnya Candi Singasari dan Candi Jawi yang kental dengan nuansa Tantra, masih menampilkan Durga Mahesasuramardini yang cantik.

Namun, di candi-candi akhir Majapahit, misalnya Candi Tegawangi, Candi Penataran, atau Candi Sukuh, menampilkan sosok Durga Ra Nini yang bertaring.

Durga Ra Nini inilah yang diwarisi para pujangga Jawa zaman pertengahan, ketika mereka menyusun cerita pewayangan.

Baca Juga: Tawuran Dua Kali Pecah di Lamongan, Korban Bergeletakan

Berikut cerita pewayangan yang menceritakan asal-usul Bathari Durga:

Suatu hari, Bathara Guru dan Dewi Uma sedang mengendarai lembu Andini di atas sebuah samudera.

Karena pengaruh Sandyakala atau masa sebelum malam, Bathara Guru menjadi bernafsu dan mengajak istrinya untuk bersenggama.

Baca Juga: 34 Tahun Tragedi Bintaro Berlalu, Mengenang Kecelakaan Kereta Paling Tragis dalam Sejarah Perkeretaapian

Dewi Uma menolak dan terjadilah aksi paksa dari raja para dewa.

Karena salah posisi, sperma Bathara Guru jatuh ke samudra. Sperma ini kemudian dikenal dengan nama Kamasalah, yang menjadi awal dari lahirnya Bathara Kala.

Dengan marah, Bathara Guru mengutuk istrinya menjadi Bathari Durga dan mengusirnya dari Kahyangan.

Baca Juga: Duduki Peringkat Pertama di 94 Negara, Squid Game Sedot 142 Juta Penonton

Cerita ini kemudian berkembang menjadi beberapa varian, tergantung daerah asalnya.

Bagi penganut Tantra, baik di Majapahit akhir maupun sesudahnya, sosok Durga Mahesasuramardini tidak mengalami perubahan.

Mereka memujanya sebagai lambang kebutuhan akan shakti yang besar, untuk menghancurkan energi asura di dalam diri mereka akan mencapai kesempurnaan.

Baca Juga: Berlaku Mulai Oktober 2021, Ini Aturan dan Syarat Penerbangan Terbaru Lion Air, Garuda Indonesia dan Citilink

Namun, bahi kalangan di luar yang awam, yang tidak pernah memiliki kebutuhan eksotris, di mana mereka hanya bergulat dengan kondisi kebutuhan sehari-hari yang kadang-kadang tidak ideal, mereka lebih membutuhkan sosok Durga Ra Nini untuk membebaskan mereka dari kesulitan hidup, yang kemudian dikenal dengan tradisi ruwat.

Dan seperti yang sudah umum terjadi dalam hukum sosial, apa yang populer di kalangan arus bawah, akan mengalahkan apa yang populer di kalangan elit.

Masyarakat Jawa kuno memiliki lapis-lapis sosial yang tidak benar-benar menyatu. Masing-masing memiliki permasalahannya sendiri.

Baca Juga: Siapkan Diri Hadapi Perang Besar, Tentara Lakukan Ini

Di lapis sosial bawah, Jawa menampilkan kekuatan aslinya, yakni sinkretis dan akulturasi.

Bentuk perlawanan mereka, salah satunya adalah tidak setia dengan sumber-sumber India dan melakukan peleburan di mana-mana.

Di masa inilah, kisah-kisah atau naskah-naskah terkenal dituliskan, misalnya Sudamala, Tantu Panggelaran, Pararaton, atau Serat Calon Arang.

Baca Juga: Bagus Buat Push Rank! Hero Baxia Hyper Terlarang di Mobile Legends, Sampai Sekarang belum Ketemu Counternya

Semua sastra itu kental dengan nuansa ruwat dan sosok Durga Ra Nini.

Ketika lapisan sosial atas mengalami kemerosotan, dan agama-agama mainstream terdesak dari Jawa, maka lapis sejati Jawa muncul.

Seperti kambium yang terlihat setelah kulit luar sebuah pohon terkelupas. Demikian kepercayaan lama muncul ke permukaan.

Baca Juga: Buntut Kian Panjang, Kim Seon Ho Tinggalkan Variety Show 2 Days & 1 Night Season 4 Akibat Kontrovesinya

Konsep punden berundak menjadi marak, bersisian dengan konsep Durga Ra Nini dan konsep ruwat.

Sebagaimana tergambar dalam wujud Candi Sukuh, dalam singkapan selanjutnya kita akan membahas Durga Ra Nini lebih jauh, dan yang paling menariknya adalah, kita akan membahas tentang bala tentara Durga Ra Nini.

Itu artinya adalah, kita akan membahas Demonologi Jawa, atu ilmu perhantuan Jawa, sesuai dengan naskah-naskah sejarah.***

Editor: Achmad Ronggo

Sumber: YouTube/@ASISIChannel

Tags

Terkini

Terpopuler