Lahirnya Nusantara: Candi Ini Menolak Intoleransi, Peleburan Dua Agama Besar di Indonesia

21 Oktober 2021, 13:36 WIB
Candi Jawi di Pasuruan, Jawa Timur. Tangkapan layar YouTube/ASISIChannel /

LAMONGAN TODAY - Perusakan tempat peribadatan atau ikonoklas karena alasan politik atau perbedaan keyakinan, sudah menjadi tema dalam sejarah dunia.

Dari kota kuno Ayuthaya di Thailand, hingga kota suci Athena di Yunani.

Namun, di Jawa klasik, perbedaan keyakinan justru dirayakan. Monumen yang merayakan perbedaan ini yakni Candi Jawi di Pasuruan, Jawa Timur.

Baca Juga: Pemerintah Wajibkan Tes PCR Penumpang Pesawat, Komisi V: Itu Langkah Mundur!

Candi Jawi, dibangun kira-kira bersamaan dengan tentara Mongol di bawah pimpinan Hulagu, melakukan kampanye militer di Timur Tengah, yang salah satunya menghancurkan Kota Baghdad.

Mengapa masyarakat Jawa kuno lebih bisa menerima perbedaan keyakinan, bahkan merayakannya?

Candi Jawi merupakan salah satu candi yang tercantik di Jawa Timur, atau di zaman dahulu disebut Candi Jajawa.

Baca Juga: Rachel Vennya Penuhi Panggilan Polisi Ihwal Kabur Karantina

Candi ini sangat lengap, ada kaki candi, badan candi dan kepala candi.

Menariknya, candi ini terbuat dari dua bahan yang berbeda. Bagian kaki terbuat dari batu hitam. Sementara bagian badan dan atapnya terbuat dari batu putih.

Ada pihak yang berpendapat bahwa perbedaan bahan batu ini, terjadi sejak Candi yang dibangun di era Singasari ini dipugar pada era Kerajaan Majapahit. Sehingga, kontras ini mewakili dua kerajaan berbeda.

Baca Juga: Sempat kena Penyakit Autoimun, Enzy Storia ungkap Mukjizat dalam Hidupnya dapat Sembuh Hanya Hitungan Jam

Namun, pihak lain berpendapat, perbedaan bahan ini sudah ada sejak awal dibangun.

Keunikan lainnya, candi ini bernapaskan Hindu sekaligus Buddha. Bagian bawahnya bersifat Hindu, sementara puncaknya bersifat Buddha dengan adanya dagoba.

Karena Negarakertagama tulisa Mpu Prapanca mengabarkan bagian bawahnya bersifat Siwa, maka relung pada candi seharusnya berisi arca Nandiswara dan Mahakala, dua aspek Siwa sebagai penjaga.

Baca Juga: Rahasia di Balik 2 Item yang Direvamp, Ternyata Moonton Buff Hero Uranus dengan Gaya

Candi yang menjulang hampir 25 meter ini memiliki kaki yang tinggi, sehingga tangga naiknya lumayan terjal dan sempit.

Tangga ini diapit hiasan zoomorfik atau hiasan yang menyerupai hewan, dalam hal ini singa.

Posisinya mengingatkan pada singa Candi Kidal di Malang, yang sama-sama berasal dari era Singasari.

Baca Juga: Tawuran Dua Kali Pecah di Lamongan, Korban Bergeletakan

Singa merupakan hewan suci dalam agama Buddha, dan di tempat-tempat suci, misalkan Candi Borobudur dipahatkan untuk menjaga Sang Buddha dari bahaya.

Meskipun tidak ada relief cerita di badan candi, terdapat banyak ukiran geometri, ukiran halus ini adalah masterpiece.

Parswadewatanya, yakni relung tempat diletakkannya arca dewata, dihiasi Kala Kirtimukha yang khas Jawa Timur.

Baca Juga: 34 Tahun Tragedi Bintaro Berlalu, Mengenang Kecelakaan Kereta Paling Tragis dalam Sejarah Perkeretaapian

Bentuknya cukup mengerikan, keempat taringnya mencuat panjang dan rambutnya acak-acakan, ekspresinya sangat menakutkan.

Ruangan di dalamnya sempit, dan ditempati satu yoni.

Dalam pemberitaan Negarakertagama, duku yang ada di dalam sini tidak hanya Siwaistis, terdapat juga arca Buddha Maha Aksobya yang sangat indah.

Baca Juga: Duduki Peringkat Pertama di 94 Negara, Squid Game Sedot 142 Juta Penonton

Yoni ini cukup besar dan mirip dengan yoni yang ditemukan di Candi Gedong di daerah Blitar.

Candi ini kaya akan pelipit, yang justru memberi efek geometri yang indah.

Keunikan lain yang perlu diperhatikan adalah candi ini dikelilingi parit.

Baca Juga: Berlaku Mulai Oktober 2021, Ini Aturan dan Syarat Penerbangan Terbaru Lion Air, Garuda Indonesia dan Citilink

Meskipun tidak ada sumber tertulis yang mencatat demikian, keberadaan parit ini ditemukan saat melakukan penggalian, termasuk struktur bata yang diduga jembatannya.

Parit yang memutarinya, membuat candi ini seolah berada di pulau kecil di tengah samudera, sehingga beberapa pihak menganggap candi ini sebagai replika Gunung Mahameru yang dikelilingi Samudera.

Keunikan selanjutnya, candi ini memiliki potret dirinya sendiri ketika masih digunakan di masa lalu.

Baca Juga: Siapkan Diri Hadapi Perang Besar, Tentara Lakukan Ini

Meskipun candi Jawi ini masih utuh, tetapi beberapa bangunan seperti Candi Pewara ataupun Candi Bentar yang pintu gerbangnya di bagian belakang, sudah runtuh.

Tapi, kita masih bisa menemukan denah aslinya dari relief candi ini.

Tidak jelas tahun berapa tepatnya candi ini dibangun, namun dari pemberitaan Kitab Negarakertagama, Raja terakhir dan terbesar Singasari, yakni Kertanegara adalah pembangunnya.

Baca Juga: Bagus Buat Push Rank! Hero Baxia Hyper Terlarang di Mobile Legends, Sampai Sekarang belum Ketemu Counternya

Jadi, kira-kira bersamaan saat Marco Polo menjelajah ke Asia dan menjadi orang Eropa pertama yang melihat badak.

Candi ini ternyata mengalami penghancuran beberpa kali. Salah satunya sangat memilukan.

Apakah ini karena sifatnya yang bernapaskan dua agama sekaligus?

Baca Juga: Buntut Kian Panjang, Kim Seon Ho Tinggalkan Variety Show 2 Days & 1 Night Season 4 Akibat Kontrovesinya

Dan mengapa candi ini membuktikan orang Jawa di masa itu sangat toleran melebihi bangsa manapun?

Tahun 1331, saat Rani Tribhuwana bahu-membahu dengan Gajah Mada menggempur Keta dan Sadeng, sebuah petir menyambar Candi Jawi dan merusakkannya.

Seorang pendeta Sakyamuni yang terbiasa berziarah ke candi ini menjadi kaget.

Baca Juga: Niat Puasa Ayyamul Bidh Bulan Ini Mulai 20 Oktober 2021, Inilah Tata Cara, Doa Lengkap dengan Artinya

Dari dialah kemudian laporan kerusakan ini diterima pusat.

Mungkin karena takut menanggung kutukan leluhurnya, Majapahit buru-buru menindak lanjuti.

Setahun pasca sambaran petir, candi mengalami perbaikan kembali.

Baca Juga: Raline Shah Jadi Tamu Spesial di Film Terbaru Marvel Studios, Begini Potretnya

Demikian reportase Mpu Prapanca melalui Negarakertagama.

Namun, sang Pendeta Sakyamuni tadi melaporkan bahwa arca Buddha Aksobya di candi ini hilang semenjak petir menyambar.

Nampaknya, bahi orang Majapahit sendiri, lenyapnya arca tersebut menimbulkan tanda tanya besar, sehingga Prapanca menyebutkan "lenyap ke nirwana."

Baca Juga: Kim Seon Ho Buka Suara Usai Diisukan Aborsi: Saya Mengalami Ketakutan

Negarakertagama karya Prapanca adalah pujasastra untuk raja, tentu lebih memilih untuk menyatakannya secara normatif.

Ada dua penjelasan yang masuk akal, yakni jika tidak dicuri ya tentu hancur berkeping-keping, hingga mustahil diperbaiki.

Baru-baru ini beberapa pihak menyatakan arca Joko Dolog yang kini ada di Jalan Taman Apsari di Surabaya, adalah arca Buddha Aksobya yang hilang tersebut.

Baca Juga: Profil dan Fakta Menarik Rano Karno, Aktor Si Doel yang Kehilangan Empedu Usai Operasi

Dugaan ini diperkuat oleh beberapa hal:

Pertama, Candi Jawi adalah tempat persemayaman abu jenasah Raja Kertanegara.

Kedua, arca Joko Dolog adalah arca perwujudan Kertanegara.

Ketiga, terdapat prasasti di lapik arca ini yang dikeluarkan oleh Kertanegara.

Baca Juga: Dikeroyok Puluhan Berandalan, Anggota IKSPI Kera Sakti Gresik Hampir Meregang Nyawa

Namun, sebagian sejarawan tidak menerima pendapat ini. Karena arca Joko Dolog berasal dari wilayah Trowulan, pusat kekuasaan Majapahit.

Untuk apa orang Majapahit melanggar kutukan leluhur dengan memindahkan arca ini hingga 50 kilometer dari tempatnya?

Setelah perbaikan oleh orang Majapahit, candi ini tidaklah gagah melewati ratusan tahun dengan tetap tegap berdiri.

Baca Juga: Update Ranking BWF Ganda Putra Indonesia: Kevin Sanjaya/Marcus Gideon Ungguli Christo Popov/Toma Junior Popov

Saat ditemukan orang Belanda, candi ini bahkan terpenggal menjadi tiga bagian.

Jika kalian melihat di arsip Kemendikbud bagian cagar budaya, akan terlihat bahwa candi ini runtuh cukup parah.

Kok bisa candi ini terpenggal tiga, bahkan badannya berkeping-keping dan hilang?

Baca Juga: Zinedine Zidane Dukung Pemain Ini Juara Ballon d'Or 2021: Performanya Menakjubkan untuk Klub dan Negaranya

Banyak faktor yang menjadi penyebab, salab satunya sejak Belanda menerjemahkan Negarakertagama, maka para penjarah dengan cepat mengendus bahwa Candi Jawi adalah pendarmaan Kertanegara, raja terbesar sekaligus terakhir Singasari.

Artinya, ada harta di dalamnya, salah satunya adalah emas.

Kok bisa candi ini bernapaskan dua agama berbeda?

Baca Juga: Squid Game Bernilai 900 Juta Dolar AS, Berapa Rupiah?

Di Jawa, pada masa pemerintahan Raja Kertanegara, tumbuh dengan suburnya aliran Tantrayana.

Tantra meliputi kepercayaan sekaligus filsafat.

Berdasarkan Kitab Sutasoma karangan Mpu Tantular dan Kitab Tantu Panggelaran, kepercayaan berisi banyak elemen, meliputi ritual, filsafat, budaya dan lain sebagainya.

Baca Juga: Dikeroyok Membabi Buta, Dua Anggota IKSPI Kera Sakti Lamongan Alami Luka-Luka, Satu Korban Gadis Di Bawah Umur

Semakin dalam kita mempelajari suatu kepercayaan, akan bertemu dengan esensinya.

Maka elemen tadi, akan tampak seperti kulit, di mana kulit satu kerang, berbeda dengan kulit yang lainnya. Namun, dalam tataran esensi, sama.

Memang, selama berabad-abad, agama Hindu dan Buddha hidup berdampingan di Jawa Kuno.

Baca Juga: Huruf Thailand Mirip Aksara Jawa, Benarkah Keduanya Berasal dari Bahasa Kuno yang Sama? Ini Jawabannya

Maka, perhatikan saja, candi-candi era Jawa Tengah, antara Hindu dan Buddha bisa dibedakan jelas ciri-ciri candinya.

Misalnya, Borobudur untuk Buddha dan Prambanan untuk Hindu, namun hidup berdampingan, berbeda dengan peleburan.

Berkembangnya Tantra, menjadi landasan bagi era Jawa Timur untuk meleburkan Candi Hindu dan Buddha menjadi satu bangunan.

Baca Juga: Mustafa Kemal Ataturk akan Jadi Nama Jalan di Jakarta Banjir Kritik, Fahri Hamzah: Nama Jalan aja Susah Amat

Karena dalam kepercayaan, sejak era Kertanegara Siwa dan Buddha melebur menjadi Yang Maha Mutlak dan tak terpikirkan dalam Sunyarupa yakni kehampaan.

Karena itu, Mpu Tantular menjelaskan tanpa ragu-ragu "Konon dikatakan, bahwa wujud Buddha dan Siwa itu berbeda."

Mereka memang berbeda, namun bagaimana kita mengenali perbedaannya dalam selintas pandang?

Baca Juga: Video Gisel Terbaru Singkap Kaos, Nitizen Banjiri Kolom Komentar

"Karena kebenaran yang diajarkan Buddha dan Siwa itu sesungguhnya satu jua."

"Bhinneka Tunggal Ika (mereka memang berbeda-beda, namun hakekatnya sama)."

"Karena tidak ada kebenaran yang mendua."

Baca Juga: Drummer Blink-182 Travis Barker Resmi Bertunangan dengan Kourtney Kardashian: Selamanya

Tulis Mpu Tantular dalam Kakawin Sutasoma 139:5.

Sangat indah ketika para pendiri bangsa kita, memilih kalimat dari Mpu Tantular ini menjadi semboyan bangsa kita.

Dan menariknya, dalam pengertian yang lebih luas, bahwa bangsa kita Indonesia, sangat beragam dan berbeda-beda dari segi agama, suku, etnis, budaya dan lain sebagainya.

Baca Juga: Partai Demokrat Komando AHY Terus Melejit, Benny Harman: Satu-satunya Tokoh Non Pejabat Publik Papan Atas

Namun hakekatnya satu jua, yakni bangsa Indonesia.

Toleransi, jelas dirayakan oleh nenek moyang kita dengan monumen Candi Jawi.

Jika kebetulan melewati jalan raya Pandaan, dan menoleh pada candi ini.

Baca Juga: Profil Mohammad Ahsan, Cetak Rekor Juarai Tiga Gelar Bergengsi dalam Satu Tahun

Sejenak kita diingatkan, bagaimana pitarah kita dahulu hidup berdampingan dan saling menghargai.

Toleransi terhadap perbedaan, terbukti adalah jati diri bangsa kita di masa lalu, dan sudah semestinya tetap menjadi jati diri kita di masa kini dan masa mendatang.***

Editor: Achmad Ronggo

Sumber: YouTube/@ASISIChannel

Tags

Terkini

Terpopuler