Membongkar Fakta dan Dusta Peradaban Majapahit, Kritik Sumber supaya Tidak Tertipu Hoax!

17 Oktober 2021, 23:30 WIB
Ilustrasi candi sebagai salah satu peninggalan Kerajaan Majapahit /Pixabay/astama81/

LAMONGAN TODAY - Majapahit jelas merupakan kerajaan besar di nusantara. Jejak kebesarannya, tidak hanya dapat kita temukan dalam peninggalan sejarah.

Namun juga, dalam hoax-hoax yang muncul seputar kerajaan ini. Misalnya, beberapa waktu yang lalu sempat viral bahwa nama Gajah Mada sebenarnya adalah Gaj Ahmada.

Di lain tempat, ada yang menyebut Majapahit sebetulnya adalah kesultanan dan masih banyak lagi.

Baca Juga: Sungai Cileueur Mengganas Tewaskan 11 Siswa MTs Harapan Baru Cijantung, Ini Sebabnya

Pernyataan-pernyataan aneh tentang Majapahit, tidak hanya muncul di masa kini. Tetapi juga sejak masa lampau.

Misalnya, Babad Tanah Jawi menyebut Gajah Mada hidup sezaman dengan Raden Patah, atau bahwa Raja Majapahit terakhir bergelar Brawijaya dan sempat menikahi bangsa raksaksa.

Raja ini kemudian dikalahkan anaknya sendiri, yakni Raden Patah, dan insiden ini menjadi titik kehancuran Majapahit dan sebagainya.

Baca Juga: Fakta Menarik Member Secret Number: Ada Dita Karang dari Indonesia, Jinny dan Denise Pernah jadi Trainee YG

Babad Tanah Jawi bukanlah sumber yang tepat untuk sejarah Majapahit, dan inilah alasannya.

Sejarah dibangun atas sumber yang valid. Karena itu, ketika mendengar peristiwa sejarah, hal pertama yang kita tanyakan adalah sumbernya.

Sumber sejarah dibagi ke dalam beberapa kelompok. Yang paling menonjol adalah dua kelompok, yakni sumber primer atau sumber utama, dan sumber sekunder atau sumber pendukung.

Baca Juga: Marcus Gideon Diistirahatkan Hadapi China di Partai Final, Berikut Susunan Pemainnya

Sumber sejarah yang ditulis langsung oleh sumber sejarah atau saksi mata dari sejarah adalah sumber primer yang sangat kuat.

Misalnya, seseorang menulis biografi tentang dirinya sendiri. Atau keluarga yang menulis cerita tentang seseorang meski orang tersebut sudah meninggal.

Maka, itu adalah sumber primer yang sangat kuat dan bisa diandalkan.

Baca Juga: Sepele, Inilah 5 Detail Dalam Squid Game yang Tak Tersorot

Meski hidup sezaman, namun yang menulis bukan pelaku maupun bukan saksi mata, dia dikategorikan sumber primer yang kurang kuat.

Kadang-kadang hanya disebut sumber sezaman.

Misalnya, sahabat Anda menulis biografi tentang diri Anda dan menulisnya hanya berdasarkan cerita-cerita dari orang lain, maka itu tergolong sumber primer yang kurang kuat atau sumber sezaman.

Baca Juga: Tetap Tangguh! PSG vs Angers SCO Ligue 1: PSG Menang 2-1 Meski Tak Diperkuat Messi dan Neymar

Selanjutnya, sumber sejarah yang bukan ditulis oleh pelaku maupun saksi mata, dan tidak hidup sezaman, termasuk dalam kategori sumber sekunder dan bersifat pendukung.

Misalnya, 200 tahun setelah seseorang meninggal, ada orang yang menulis tentang diri orang tersebut.

Kadang sumber sekunder ini di dasarkan jauhnya jarak waktu, geografi, juga perbedaan budaya dan bahasa. Semakin jauh, semakin harus ditolak.

Baca Juga: Tertunda Karena Covid-19, China Akhirnya Rebut Piala Uber dari Jepang, Berikut Hasil Lengkapnya

Sumber sekunder, tidak bisa menjadi rujukan utama, karena validitasnya diragukan dan sumbernya hanya pendukung.

Apabila sumber primer cukup lengkap, maka sumber sekunder boleh diabaikan.

Jika menyangkut sejarah Kerajaan Majapahit, yang masih dalam sumber primer misalnya prasasti.

Baca Juga: Wapres Komentari Pergeseran Libur Maulid Nabi 2021, Biar Tidak Kejepit

Karena prasasti adalah sumber tertulis yang dikeluarkan oleh raja atau pejabat tinggi semasa mereka hidup.

Misalnya, Prasasti Sukamerta yang berangka tahun 1296 M, di masa pemerintahan Dyah Wijaya, raja pertama Majapahit, yang menjadi dokumen penetapan Desa Sukamerta menjadi Sima atau daerah bebas pajak.

Kedua, Kitab Negarakertagama, karena punulis dari kitab ini, yakni Mpu Prapanca merupakan saksi mata pada masa keemasan Kerajaan Majapahit.

Baca Juga: Perjalanan Kabur Karantina Rachel Vennya Tuai Respon Kemenkes, TNI-Polri Hingga Permohonan Maaf

Sebagai agamawan Buddha di lingkungan istana, Mpu Prapanca adalah nama alias yang dicantumkan di akhir naskah.

Kitab ini selesai ditulis pada tahun 1365 M dalam masa kekuasaan Raja Hayam Wuruk.

Kitab Negarakertagama berisi laporan pandangan mata terhadap keluarga raja dan silsilahnya, kehidupan istana dan di luar istana, pembagian wilayah Majapahit, kota-kota yang dikunjungi Raja Hayam Wuruk, kehidupan beragama dan berbagai bangunan suci pada masa itu.

Baca Juga: Tegas! Kiwil Samakan Istri dengan Mobil, Venti Firgianti Ungkap Keinginan Cerai di Depan Umum

Jadi jelas, sumber primer untuk Kerajaan Majapahit adalah prasasti dan Kitab Negarakertagama.

Mari kita cek, apa saja sumber sekunder atau sumber pendukungnya.

Dalam konteks sejarah Kerajaan Majapahit, contoh yang masuk dalam sumber sekunder adalah serat Pararaton atau lontar yang ditulis sekitar tahun 1481 M, pada masa kekuasaan Raja Girindrawardana, yakni sekitar 116 tahun setelah masa keemasan Majapahit.

Baca Juga: Prakiraan Cuaca Hari Ini, Minggu 17 Oktober 2021: BMKG Prediksi Sebagian Besar Kota di Indonesia Berawan

Pararaton kemungkinan masih ditulis di lingkungan yang masih bercorak Hindu-Buddha di Jawa Timur, sehingga belum tercabut dari katian geografis, budaya dan bahasa Majapahit.

Kitab ini memuat silsilah raja-raja Singasari hingga raja akhir Majapahit, lengkap dengan tahun dan peristiwa yang mengiringinya.

Sebagai sumber sekunder, Pararaton boleh diabaikan, jika sumber-sumber primer seperti prasari dan Negarakertagama sudah cukup lengkap menjelaskan suatu peristiwa atau tokoh sejarah Majapahit.

Baca Juga: Update Klasemen Liga Prancis, PSG Kokoh di Puncak Klasemen Meski Tanpa Lionel Messi

Boleh dibilang, Pararaton berfungsi sebagai penambal kekosongan.

Lalu bagaimana dengan Babad Tanah Jawi yang juga mencoba untuk bercerita tentang Majapahit?

Babad Tanah Jawi ditulis sekitar 250 tahun atau 2,5 abad setelah Majapahit benar-benar lenyap, saat masyarakat Jawa sudah berganti keyakinan.

Baca Juga: Waspada Rek! Jatim Bakal Diguyur Hujan dan Petir

Mengenai siapa penulis Babad Tanah Jawi masih diperdebatkan.

Yang jelas, penulis ini:

1. Tumbuh di lingkungan non Hindu-Buddha,

2. Tidak menerapkan bahasa dan budaya yang sama dengan orang Majapahit,

3. Tinggal jauh dari wilayah Jawa Timur.

Baca Juga: Jadwal Layanan SIM Keliling di Jakarta, Bekasi, Bogor, dan Bandung, Ini Lokasinya

Babad Tanah Jawi memuat peristiwa dan genologi raja-raja Jawa, dimulai dari Nabi Adam yang menurunkan dewa-dewa Hindu, lalu menurunkan tokoh Mahabharata, hingga tokoh cerita Panji di zaman Kediri.

Lalu Pajajaran, Majapahit, Demak, Pajang, hingga kesultanan Mataram.

Menurut sejarawan H.J. De Graaf (1899-1984), Babad Tanah Jawi adalah sumber sejarah primer dan valid untuk peristiwa sejarah pada zaman Pajang hingga Kertasura.

Baca Juga: Spesifikasi dan Harga HP Asus Zenfone 8 Baru Rilis di Indonesia, Ponsel Mini Tawarkan RAM 16 GB

Namun, untuk masa sebelum tahun 1580 M, naskah ini tidak bisa digunakan untuk sumber sejarah, karena bercampur dengan mitos dan legenda.

Jadi cukup jelas, jika menyangkut sejarah Majapahit, Babad Tanah Jawi adalah sumber sekunder yang sangat lemah.

Padahal di sinilah pertama kalinya nama Brawijaya sebagai raja terakhir Majapahit disebutkan.

Baca Juga: Tampil Garang Di Depan Publik Sendiri, Leicester City Pecundangi Manchester United 4-2

Di sini juga disebutkan kisah Raden Patah yang mengalahkan Brawijaya, ayahnya sendiri dan mengalahkan Majapahit.

Kisah-kisah ini harus ditolak, selain itu, sumber sezaman yang ditulis pada masa Raden Patah, yakni buku laporan Summa Oriental, yang ditulis oleh Tommy Pires, justru menggambarkan sebaliknya, bahwa leluhur pendiri Kerajaan Demak, bukan bangsawan Kerajaan Majapahit.

Sumber manakah yang lebih bisa dipercaya?

Baca Juga: Panas Menyengat Berlangsung Tiga Hari Ke Depan Di Wilayah Ini, Sempat 36,3 Derajat Celcius

Summa Oriental yang ditulis ketika Raden Patah masih hidup, atau Babad Tanah Jawi, yang baru ditulis sekitar 200 tahun setelah Raden Patah meninggal.

Ada satu teknik yang biasanya digunakan oleh penyidik atau jurnalis untuk menggali sebuah informasi, yakni 5W+1H.

What, Who, When, Where, Why dan How. Teknik ini bisa kita gunakan untuk menggali keabsahan atau kesahihan sebuah sumber sejarah.

Baca Juga: Drakor Snowdrop Dibintangi Jisoo BLACKPINK sempat Tuai Kontroversi, Ceritakan Gerakan Demokrasi Gwangju

What (Apa?)

Terdapat tiga kelompok untuk bentuk sumber, yakni berupa benda, sumber lisan atau tulisan.

Misalnya, sumber sejarah berbentuk tulisan bisa kita gali lebih jauh. Apakah berbentuk prasati, silisilah, kitab dan lain sebagainya.

Who (siapa?)

Siapa pembuat atau penulisnya.

When (kapan?)

Kapan dibuat atau ditulis.

Baca Juga: Eks Terpidana Terorisme Bongkar Alasan Tak Sepakat Densus 88 Polri Dibubarkan

Where (dimana?)

Di mana dibuat atau ditulis.

Why (mengapa?)

Untuk tujuan apa dibuat atau ditulis.

How (bagaimana?)

Dan sebagai pelengkap, bagaimana sumber sejarah itu digunakan.

Baca Juga: Buntut Rachel Vennya Kabur dari Karantina, Polisi Juga Panggil Pacarnya Salim Nauderer

Misalnya, prasasti digunakan dengan cara dipahatkan pada batu di suatu daerah, sehingga bisa dibaca bersama-sama, sementara lontar mantra digunakan dengan cara dibacakan dalam ritual tertentu.

Jadi, ketika kita mendengar sebuah peristiwa sejarah dari siapapun, hal pertama yang harus ditanyakan adalah sumbernya dari mana?

Jika sudah tahu sumbernya, kita bisa menerapkan 5W+1H. Dari situ, kita bisa mengkategorikan sumber sejarah tersebut ke dalam kriteria sumber primer, sumber sezaman, sumber sekunder atau sumber yang harus ditolak.

Baca Juga: Profil Subway dan Sejarah Berdirinya, Waralaba Makanan Terpopuler di Amerika Serikat Resmi Hadir di Indonesia

Sejarah sesungguhnya tidak hanya dibangun di atas setumpuk cerita atau berita dari berbagai sumber.

Namun, juga muatan dari sumber tersebut. Karena ada jiwa zaman yang terekam dalam setiap sumber sejarah yang bisa kita lihat dalam ikatan kebudayaan dan ikatan waktunya.

Misalnya, ketika Mpu Prapanca mencatat tutup usianya seorang raja dengan istilah berpulang ke Siwabudhhaloka, jelas dia terikat dengan kebudayaan ketika wilayah hidupnya masih bercorak Hindu-Buddha.

Baca Juga: Bantai Uruguay 4-1, Dua Gol Raphinha Antar Brazil Pimpin Klasemen Kualifikasi Piala Dunia Zona Conmebol

Teori ikatan kebudayaan dan waktu ini, juga bisa kita gunakan untuk menilai lebih jauh keotentikan dan kevalidan berbagai sumber sejarah yang kita pelajari sebelumnya.

Pertama, keotentikan prasasti sebagai sumber primer.

Prasastk di zaman Majapahit, kebanyakan mencantumkan Sapata atau kutukan bagi pelanggar isi prasasti tersebut.

Baca Juga: Perusahaan Pinjol Ilegal di Tangerang Digrebek Polisi, Simak Kronologi Kejadiannya

Sapata sangatlah menakutkan bagi masyarakat pada zaman itu, sehingga kecil kemungkinan mereka berani memalsukan suatu prasasti.

Misalnya, prasasti Sima atau prasasti penetapan suatu daerah menjadi bebas pajak.

Kedua, kevalidan Kitab Negarakertagama sebagai sumber primer.

Baca Juga: Tak Gampang Menuju Sukses, Squid Game Pernah Ditolak 10 Tahun Oleh Investor

Pada masa itu, ajaran Tantrayana tumbuh subur di tengah masyarakat Majapahit.

Dalam ajaran Tantra, manusia dapat mencapai kesempurnaan dengan penyucian melalui pembacaan relief atau sastra.

Dalam ikatan budaya Tantrayoga sastra inilah Mpu Prapanca menulis Kitab Negarakertagama.

Baca Juga: Kapan Hasil SKD dan SKB CPNS 2021 Setelah Diumumkan Mundur? ini Bocoran Jadwalnya

Ia memilih menulis puja sastra bagi Raja Hayam Wuruk, yang diyakininya sebagai jelmaan Batara Girinata, demi kesempurnaan jalan kematian dari Mpu Prapanca.

Bahkan, naskah ini sejatinya dibuat bukan untuk ditujukan kepada publik, bahkan pada Raja Hawam Wuruk sendiri, sehingga Negarakertagama bisa dibilang jauh dari maksud-maksud politik, yang bisa digunakan oleh negara, maupun oleh penulisnya sendiri.

Jadi, kecil kemungkinan Mpu Prapanca berbohong. Apalagi saat menulis puja sastra yang diyakininya sebagai ritual menuju kesempurnaan setelah kematiannya.

Baca Juga: Polisi Panggil Rachel Vennya Usai Kabur Karantina, Yusri: Akan Kota Selidiki

Ketiga, mari kita bicara lebih jauh tentang kesahihan Babad Tanah Jawi.

Budaya Tantrayoga sastra, sudah tidak dimiliki oleh orang-orang zaman kesultanan Mataram, termasuk penulis Babad Tanah Jawi.

Maka, ketika sang penulis Babad berusaha mengaitkan silsilah raja-raja Demak dengan Majapahit, serta mengagungkan Kesultanan Mataram, muatan politisnya sangat kental, dan politik tentu saja sulit untuk netral.

Baca Juga: OTT Dugaan Maling Uang Rakyat Bupati Musi Banyuasin, KPK Amankan Uang Rp1,7 Miliar

Di sinilah letak perbedaannya. Prasasti diikat dengan budaya Sapatha, yang level ketakutan masyarakatnya sampai pada tingkat yang sulit kita bayangkan. Sumber ini sulit dipalsukan.

Negarakertagama dan Pararaton juga diikat dengan budaya Yoga Sastra.

Sementara Babad Tanah Jawi dibingkai dengan maksud politis.

Baca Juga: Rachel Vennya Kepergok Kabur Malah Jadi Duta Covid-19, Ini Jawaban Satgas

Tujuan politis sebuah sastra, mungkin tidak tersurat, namun kita bisa melihatnya bila membandingkan dengan sastra lain.

Kita coba dengan membandingkan Babad Tanah Jawi dengan Negarakertagama sebagai puja sastra.

Pertama, Negarakertagama menggambarkan Majapahit sebagai kerajaan yang cemerlang, dengan luas wilayah meliputi Nusantara.

Baca Juga: Esay On Me Milik Adele Pecahkan Rekor Spotify, 20 Juta Streaming dalam Satu Malam

Sedangkan Babad Tanah Jawi menggambarkan Kerajaan Majapahit sebagai kerajaan yang suram, berwilayah sempit di Jawa Timur ditambah Palembang.

Kedua, dalam Negarakertagama, raja-raja Majapahit Agung dan Adi Kodrati, sedangkan dalam Babad Tanah Jawi, Raja Majapahit berpenyakit kelamin.

Ketiga, Negarakertagama menggambarkan bahwa raja Majapahit selalu berorientasi pada ekspansi wilayah, cakap dalam mengelola kerajaan besar, serta ditakuti dan disayangi segenap rakyatnya.

Baca Juga: Kevin Sanjaya 'Tipu' Aaron Chia/Soh Wooi Yik dengan Gaya Tengilnya, Sumbang Poin Bagi Indonesia di Thomas Cup

Sedangkan Babad Tanah Jawi, raja Majapahit berorientasi pada istri-istrinya, juga lemah menghadapi pembangkangan dari wilayah bawahan dan seterusnya.

Maka dari sini, kita bisa melihat tujuan penulisan dari dua kitab itu.

Negarakertagama bertujuan mengagungkan raja junjungannya, yakni raja Majapahit. Namun, maksud itu tidak dicapai dengan mengerdilkan kerajaan-kerajaan pendahulunya, seperti Medang, Jenggala dan Tumapel atau Singasari.

Baca Juga: Profil Ribka Sugiarto, Atlet Bulutangkis Putri Indonesia: Pantang Menyerah Walau Sempat Tak Direstui Orang Tua

Hal ini berbeda dengan maksud penulisan Babad Tanah Jawi, di mana di satu sisi, ia seakan berusaha mengerdilkan Majapahit. Sementara di sisi lain, ia berusaha menghubungkan raja-rajanya sendiri sebagai keturunan Majapahit.

Ini sebuah paradox yang mungkin merekam bagaimana masyarakat pada zaman itu memandang Majapahit yang telah lama berlalu.***

Editor: Achmad Ronggo

Sumber: YouTube/@asisichannel

Tags

Terkini

Terpopuler