Arung Palakka bahkan dididiknya dengan sangat baik, di ajarinya ilmu beladiri, ilmu perang dan tentang spiritualitas.
Arung Palaka tumbuh menjadi seorang pemuda yang gagah, pemberani, kuat dan cerdas. Tetapi, di dalam dirinya menyimpan amarah dan dendam yang dipendamnya sejak kecil.
Amarah dan dendam itu semakin membara, ketika ia keluar dari lingkungan istana menyaksikan rakyatnya disiksa dan dipaksa untuk membangun benteng-benteng pertahanan bagi orang-orang Makassar.
Ini adalah sirih bagi orang Bugis, sirih harus dibela sekalipun harus bertaruh nyawa. Sebab, hidup tidak ada artinya jika sirih dalam falsafah hidup orang Bugis adalah harga diri, martabat dan kehormatan.
Sebagai seorang pangeran Putra Mahkota, ia merasa berkewajiban menegakkan sirih bagi rakyatnya dan juga bagi keluarganya. Karena itu, dia berniat melawan penjajahan Gowa atas Bone.
Seperti gayung bersambut, Tobala, seorang bupati yang diangkat oleh Sultan Hasanuddin untuk memerintah di Bone sebagai perpanjangan tangan Kerajaan Gowa, juga sudah tidak tahan dengan penderitaan rakyat Bugis.
Tobala bersekutu dengan Arung Palakka untuk melakukan pemberontakan melawan Gowa.