Teror dan Horor, Fenomena Seram dan Menakjubkan di Masa Akhir Majapahit

- 30 Oktober 2021, 01:44 WIB
Ilustrasi keruntuhan Majapahit. Tangkapan layar YouTube/@ASISIChannel
Ilustrasi keruntuhan Majapahit. Tangkapan layar YouTube/@ASISIChannel /

LAMONGAN TODAY - Keruntuhan Majapahit adalah tema yang memeriahkan diskusi sejarah dalam seabad terakhir.

Tak hanya penyebabnya, situasi sosial pada masa keruntuhannya pun turut digali oleh berbagai kalangan.

Satu demi satu kajian naskah kuno, membuka wacana tentang berbagai aspek kerajaan besar ini, salah satunya Lontar Calon Arang yang merekam situasi masyarakat di masa akhir Majapahit.

Baca Juga: Buka sscasn.bkn.go.id untuk Lihat Hasil SKD CPNS 2021 dan PPPK Tahap I, Ini Cara Download Sertifikatnya

Benarkah kehidupan masyarakat masa itu diwarnai teror perang, dendam, kutukan dan sihir?

Dan benarkah satu-satunya alasan hilangnya kerajaan yang fenomenal ini adalah karena serangan Demak?

Pada paruh awal abad ke-16, Demak muncul sebagai kesultanan yang digdaya di Pulau Jawa.

Baca Juga: Pemain Liga Jerman Jacob Italiano Jadi Andalan Timnas Australia U-23 Melawan Indonesia, Ini Line-Up Kedua Tim

Semasa pemerintahan Trenggana, kerajaan ini meluaskan invasinya ke bekas-bekas wilayah Majapahit di Jawa Timur.

Konon, selama hampir dua dekade sejak tahun 1528, Madiun, Blora, Surabaya, Pasuruan, Lamongan, Blitar, Mojoagung, Jombang, hingga Sengguruh di Malang ditaklukkan.

Para rakyat tentu menyaksikan dengan cemas saat satu demi satu wilayah tersebut diakuisisi. Mereka adalah masyarakat sisa Majapahit yang bercorak Hindu-Buddha, dengan gunung suci Penanggungan sebagai pusat kosmologinya. Yakni, tempat bertakhta para dewa.

Baca Juga: Lirik Lagu 'Itu Kamu' oleh Rey Bong, Sosok yang Digadang-gadang Dekat dengan Sandrinna Michelle

Akhirnya, tahun 1543, Gunung Penanggungan direbut dan diduduki pasukan Demak. Diduga, masyarakat yang bmasih setia pada tradisi Majapahit mengungsi ke Blambangan dan Bali.

Uniknya, dalam situasi geopolitik yang carut-marut seperti inilah, seseorang menulis sebuah kisah tentang penyihir bernama Calon Arang.

Calon Arang menebar teluh dan menyebabkan kematian massal di Jawa, pada zaman Raja Airlangga.

Baca Juga: Kawal Pancasila sebagai Ideologi Bangsa, Adik Gus Dur, Lily Wahid Deklarasikan Bakti Nuswantara

Diceritakan, Negeri Dhaha kemudian diselamatkan oleh Mpu Baraddah, seorang pendeta sakti.

Yang mengherankan, karya ini bernuansa Tantra, yakni ajaran yang berada di ambang keruntuhan akibat masifnya pengaruh Demak.

Meskipun Lontar Calon Arang tertua, yang berangka tahun 1540 M, saat ini tersimpan di Leiden, Belanda, ada kemungkinan usia naskah aslinya lebih tua lagi.

Baca Juga: Liga Spanyol: Ronald Koeman Dipecat sebagai Pelatih Barcelona, Xavi Hernandez Dirumorkan jadi Kandidat Terkuat

Karena ada tradisi penyalinan lontar yang menyebabkan naskah Calon Arang yang kita miliki cukup banyak.

Kisah ini sesungguhnya memberikan sejumlah informasi penting, mengenai ajaran Tantrayana yang marak di akhir masa Majapahit. Yakni, di awal abad ke-16 saat naskah ini ditulis.

Misalnya, naskah ini mengisyaratkan keberadaan Tantra aliran kanan atau panengen, dan aliran kiri yang disebut pangiwo. Melalui dua sosok yang berseberangan, yakni Mpu Baraddah dan Calon Arang.

Baca Juga: Mengejutkan! Sheila Marcia Ungkap Penyebab Kenakalannya di Masa Lalu, Kecewa Terhadap Sang Ayah

Jika kita kaji berbagai naskah, akan terlihat bahwa perbedaan kedua aliran ini, terletak pada cara para pelakunya mengatasi halqngan untuk mencapai pencerahan.

Aliran kanan memilih menjauhi gangguan, sehingga pelakunya pun menjalani kehidupan yang suci dan asketis.

Sementara aliran kiri menguasai gangguan, dan mengubahnya menjadi alat menuju pencerahan.

Baca Juga: Shiba Inu Melonjak Tajam, Terungkap Alasan Elon Musk Bantu Dogecoin ketika Bitcoin dan Ethereum Terjun Bebas

Analoginya demikian: Untuk terhindar dari gangguan ular, aliran kanan berusaha menjauhinya, sementara aliran kiri memutuskan mengambil bisa ular untuk menjadikannya penawar racun.

Layaknya Batara Guru yang menatap racun Kalakuta hingga berubah menjadi air kehidupan Amertha, sebagaimana diceritakan dalam kisah Tantu Panggelaran.

Baik Mpu Baraddah maupun Calon Arang, memiliki perguruan atau kedewaguruan di kuburan, khas pengikut Tantra.

Baca Juga: Aturan Penerbangan di Luar Jawa-Bali Bisa Gunakan Tes Antigen, Ada Pengecualian

Kok ada kuburan?

Bukankah Majapahit itu kerajaan Hindu-Buddha, yang berarti mayatnya harus dibakar?

Di Jawa kuno, terdapat banyak lapis sosial, dan Indianisasi bisa jadi hanya menyentuh kalangan atas atau bangsawan.

Baca Juga: Lirik Lagu Apa Kabar Wong Sing Tau Tak Sayang oleh NDX AKA, Lagu Ini Mulanya Berjudul Apa Kabar Mantan

Sementara masyarakat di arus bawah, tetap pada kepercayaan asli, yang ditandai dengan tradisi memuja leluhur di gunung menggunakan punden berundak, serta ritus penguburan jenazah.

Kalau kita cek sikang dengan Kakawin Sutasoma yang ditulis oleh Mpu Tantular, kita pun mendapati bahwa di zaman keemasan Majapahit pun sudah ada kuburan.

Kitab Sutasoma, juva menggambarkan suasana kuburan, yang diberi pagar, serta dihias pohon bidara dan rukem. Bahkan ada pula mayat yang ditumpuk dan menjadi makanan gagak.

Baca Juga: Menteri Kesehatan Imbau Masyarakat Hindari Keluar Rumah Selama 3 Bulan? Ini Faktanya!

Dalam bahasa kakawin, kuburan disebut ksetra, sementara dalam Bahasa Jawa Kuno, disebut sema.

Meskipun Calon Arang dan Mpu Baraddah sama-sama memiliki kedewaguruan di kuburan, suasana keduanya sengaja dikontraskan.

Jika mandala Calon Arang terkesan menakutkan, mandala Mpu Baraddah malah disebut bagaikan sorga Dewa Wisnu yang turun ke dunia.

Baca Juga: Sengaja Provokasi, Seorang Turis hendak Diserang 11 Harimau Putih di Taman Margasatwa China

Lontar Calon Arang menyebutkan mandala Mpu Baraddah berhiaskan aneka bunga yang cantik, diantaranya asoka, angsana, kencana, melati, seruni, bunga tunjung, puring, bunga teleng, bunga sepatu, cempaka gondok, dan banyak lagi.

Sementara mandala Calon Arang ditumbuhi pohon beringin dan kepuh yang besar, dengan akar rimbun menudungi balai pengajaran.

Diduga, pohon kepuh dan beringin dianggap angker oleh masyarakat Jawa Kuno. Dugaan ini sejalan dengan Kakawin Sutasoma, bahwa pohon kepuh dan beringin juga menghiasi altar pemujaan Dewi Durga di kuburan.

Baca Juga: Jika Tanpa Uzur Syar'i, Hukum Meninggalkan Sholat Jumat Sebagai Kemaksiatan Besar

Maka perlu diingat, Tantra yang dijalankan Calon Arang berbeda dengan yang dijalankan oleh Mpu Baraddah, maupun Raja Kertanegara, seorang tokoh Tantra terbesar di Nusantara.

Karena di tulis pada abad ke-16, lontar ini bukanlah sumber primer untuk sejarah Raja Airlangga di abad ke-11. Meski naskah ini mengangkat tokoh Raja Airlangga.

Namun, naskah ini memotret semesta pikiran atau situasi masyarakat Jawa di masa akhir Majapahit, saat dia dituliskan.

Baca Juga: Kim Ji Won Terpergok Kencan dengan Yoo Yeon Seok di Restoran, Penggemar Foto Kebersamaan Keduanya

Artikel ini bukan berisi sejarah keruntuhan Majapahit, melainkan fenomena-fenomena sosial yang diyakini terjadi di masa akhir Majapahit.

Pembangkitan Mayat

Di akhir Majapahit, bahkan dimulai pada masa keemasannya, diduga berkembang budaya pembangkitan mayat.

Fenomena ini bisa ditelisik dari berbagai naskah tentang Tantrayana. Misalnya, Kakawin Sutasoma karya Mpu Tantular (abad 14), bercerita tentang mayat-mayat korban perang yang dihidupkan untuk kemudian dimatikan kembali oleh pelaku Tantra.

Baca Juga: Perserang Serang Laporkan Dugaan Pengaturan Skor di Liga 2, Supporter Persekat Tegal Tetap Loyal Beri Dukungan

Begitu pun dengan Lontar Calon Arang, Mpu Baraddah diceritakan mampu membangkitkan mayat korban teluh Calon Arang, selama mayat tersebut belum rusak. Calon Arang pun, disebutkan mampu membangkitkan mayat di kuburan.

Tampaknya mematikan dan menghidupkan manusia adalah hal yang umum pada zaman itu, yang di sisi lain, tentu menjadi mengerikan bagi masyarakat non-Tantra.

Maka, lahirlah ajaran-ajaran yang mendiskreditkan ajaran ini. Misalnya kisah Durga Ra Nini.

Baca Juga: Sukses Perankan Captain America, Chris Evans akan Perankan Karakter Buzz di Film Lightyear

Syamanisme

Praktik syamanisme, yakni pemanggilan roh melalui medium, juga berkembang di akhir Majapahit.

Lontar Calon Arang menjalankan ritual yang  oleh Calon Arang beserta murid-muridnya. Merwka menari di kuburan dengan membunyikan Kangsi dan Kamanak.

Lalu, datanglah Batari Durga dan bala tentaranya ikut menari sebelum akhirnya penguasa roh jahat itu berinteraksi dengan Calon Arang.

Baca Juga: Review realme GT Master Edition, Usung Chipset Snapdragon 778G RAM 8GB hingga Kamera 64MP

Adegan ini penggambarkan praktek syamanisme, di mana pelakunya menari hingga mencapai kondisi trans atau kerasukan, lalu menjadi medium bagi roh yang dipanggil, yang kemudian memberi ramalan, restu dan kekuatan hargai.

Syamanisme adalah praktek okultisme yang sangat tua dalam peradaban manusia. Selain di Jawa Kuno, kita bisa menjumpainya di wilayah paling utara di Siberia.

Tradisi orakel di Yunani Purba, hingga di Indonesia modern, yang kita kenal sebagai jelangkung.

Baca Juga: Link Nonton dan Download Series I Heart You Full Episode Subtitle Indonesia, Cuplikan Adhisty Zara Joget

Persembahan Daging Manusia.

Butha Yadna atau Caru, adalah salah satu budaya di Jawa Kuno, masa Majapahit.

Upacara ini Memberikan persembahan kepada kekuatan negatif atau roh-roh jahat.

Kita perlu memahami, bahwa kepercayaan akan datangnya roh-roh, sama tuanya dengan umur peradaban Nusantara. baik itu roh penunggu atau sanghiang.

Baca Juga: Peringatan Sumpah Pemuda 28 Oktober, Jumhur Hidayat: Momentum Wujudkan Indonesia Sejahtera

Roh Pelindung atau sanghiang, maupun roh-roh pengganggu yang di masa akhir Majapahit, diyakini mendiami kuburan.

Relief Sudamala, di Candi Sukuh, Karanganyar, Jawa Tengah, menggambarkan dengan sangat detail para pengunggu kuburan, di antaranya hantu kepala, hantu tantangan dan lain sebagainya.

Jika kita kroscek, relief Sudamala tersebut dengan lontar Calon Arang, terdapat kesesuaian. Dalam lontar itu disebutkan "makacaru eng butatah, sahana nikanang sengakan."

Baca Juga: Profil Glenn Fredly, Nostalgia Berbagai Lagu Populernya

Artinya, caru Calon Arang dipersembahkan kepada makhluk-makhluk buto dan pengunggu kuburan.

Dalam kisah Calon Arang, persembahan daging hewan ini lalu diganti dengan daging manusia untuk meningkatkan eskalasi serangan teluhnya.

Penulis lontar Calon Arang, sampai perlu memberikan penegasan, bahwa praktik yang dilakukan Calon Arang adalah sesat dan harus dibasmi.

Baca Juga: Lirik Lagu Ngapurane Sayang Aku Dudu Wong Top Topan - Miqbal GA, Lengkap dengan Bahasa Indonesia

Apokalips

Bisa jadi, suasana kiamat yang digambarkan Lontar Calon Arang benar-benar terjadi di masa akhir Majapahit.

Mungkin, penulis lontar tersebut melihat langsung korban yang bergelimpangan, dalam serangan Demak ke wilayah-wilayah Majapahit.

Dalam bahasa aslinya disebutkan: "Tan ana sela nikang setra watas urung-urung."

Baca Juga: Dituding Menjadi Pelakor Usai Beredar Dugaan Foto Percakapan, Thalita Latief Membantah

Atau tidak ada selanya di kuburan dengan batas parit. Karena mayat bertumpuk-tumpuk di kuburan, di ladang, di jalan-jalan, hingga di pemukiman penduduk.

Disebutkan, mayat-mayat itu kemudian menjadi makanan anjing-anjing dan hewan liar, karena hampir seluruh kerajaan menjadi kota mati.

Adu kesaktian versi kuno

Fenomena menarik lainnya di Jawa Kuno pada masa akhir Majapahit, adalah maraknya adu kesaktian.

Baca Juga: Ariel NOAH dan Aura Kasih Kepergok Satu Mobil, Aura Kasih Mungkin Dikait-Kaitin Video, Apa Segala Macem

Meski beberapa tokoh dalam lontar Calon Arang adalah fiktif, mungkin saja kesaktian-kesaktian ini memang eksis di masa penulisannya.

Lontar Calon Arang menyebutkan: Atas titah Raja Airlangga, Mpu Baraddah pun ke Bali menemui Mpu Kuturan.

Dengan misi menjadikan salah satu putra Raja Airlangga sebagai Raja Bali. Mpu Kuturan menolaknya dengan tegas, sebab Bali sudah memiliki raja.

Baca Juga: Profil Sylvester Stallone, Aktor Utama Film The Expendables 4 yang Rilis Tahun 2022

Merasa misi diplomatiknya gagal, sebelum pulang Mpu Baraddah menciptakan gempa bumi yang dahsyat.

Mungkin ia bermaksud menghancurkan istana Bali, karena istana dilanda kerusakan parah.

Maka, istana pun meminta bantuan pada Mpu Kuturan, yang menasehati orang-orang Bali untuk bersabar.

Baca Juga: Begini Suasana Pemeriksaan Wakil Bupati Bojonegoro dengan Terlapor Bupati Atas Dugaan Pencemaran Nama Baik

Mpu Kutiran kemusian menciptakan gelombang pasanv hang menghadang Selat Bali, menghalangi perjalanan pulang Mpu Baraddah.

Mlu Baraddah paham, jika gempa yng diciptakannya meluluhlantakkan Bali. Dirinya yang masih terperangkap di pulau itu pun akan ikut hancur.

Mpu Baraddab yang merasa kalah strategi, menghentikan gempa ciptaannya, lalu kembali pada Mpu Kuturan, dan pamit secara baik-baik.

Baca Juga: Hasil Liga Indonesia: Belum Terkalahkan! Persib Bandung Taklukkan PSIS Semarang 1-0 di Maguwoharjo

Mpu Kuturan pun merestuinya, dan lenyaplah gelombang pasang yang memagar Pulau Bali.

Membedah Lontar Calon Arang, mungkin tidak akan ada habisnya. Salah satu pesan paling kuat dalam naskah kisah ini adalah perepecahan

Segmen pertama, berisi penyimpangan Calon Arang, yang memisahkannya dari aliran utama Tantra.

Baca Juga: Tak Kunjung Selesai, Rachel Vennya Kembali Dijadwalkan untuk Diperiksa Polisi

Segmen kedua, berisi perang saudara di tubuh pemerintahan.

Namun, dalam kedua segmen tersebut, rakyat dalam ketidak berdayaannya terus menerus menjadi korban.

Di lontar ini pula, kita mengenal istilah ruwat negara, untuk bangsa yang sedang sekarat.

Baca Juga: Rossa dan Afgan Pamer Liburan Bareng di New York, Warganet: Harus Kawal sampe Nikah

Inilah situasi mengerikan di masa akhir Majapahit yang dipotret sang penulis.

Ketika bangsa Majapahit terpecah-pecah hingga keropos dari dalam.

Mungkin situasi ini juga yang dimanfaatkan sebagai momentum oleh Kesultanan Demak untuk menyempurnakan dominasinya.

Baca Juga: Malam Jumat Waktu Tepat Berhubungan Intim? Hari Perkawinan Rasullullah

Maka, sesungguhnya bahaya terbesar bagi sebuah bangsa, bahkan yang sebesar Majapahit, bukanlah serangan dari luar, melainkan perpecahan di dalam bangsa itu sendiri.

Karena itu, dengan beragamnya perbedaan di negeri ini, janganlah kita mau dipecah-pecah dan saling dibenturkan untuk alasan apa pun.

Semestinya, kita semua menjadikan perbedaan sebagai kekuatan. Dahulu, merah putih berkibar di bumi Majapahit, lalu lenyap berganti warna.

Baca Juga: Sinopsis Film Hostiles: Misi Terakhir Tentara AS Lindungi Pimpinan Perang Cheyenne yang Sekarat

Kini, Sang Saka telah berkibar lagi, di tanah air yang sama, dengan kekuatan dari kayanya perbedaan, marinkita bersatu dan mengawalnya bersama-sama.***

Editor: Achmad Ronggo

Sumber: YouTube/@ASISIChannel


Tags

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x