Reforma Agraria Lambat, Bamsoet Ingatkan Mandat Ketetapan MPR Sebagai Rujukan

- 30 April 2021, 21:38 WIB
Ketua MPR RI Bambang Soesatyo alias Bamsoet.
Ketua MPR RI Bambang Soesatyo alias Bamsoet. /Instagram @bambang.soesatyo

LAMONGAN TODAY - Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) dalam menjalankan agenda reforma agraria dianggap belum maksimal. Pasalnya, sejuah ini agenda reforma agraria masih jalan di tempat.

Sejumlah kalangan menganggap, reforma agraria sebagai jalan keluar dari maraknya konflik agraria yang terus meningkat di Indonesia.

Terkait dengan hal itu, Ketua MPR RI Bambang Soesatyo angkat bicara. Bamsoet sapaan akrabnya, mengingatkan bahwa Ketetapan MPR RI Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam masih tetap berlaku sebagai salah satu rujukan dalam mengatasi konflik agraria dan perlindungan tanah adat.

Baca Juga: Debby Kurniawan Sosialisasi 4 Pilar Dengan Para Pemuda Aktif Seni Bela Diri

Menurut Bamsoet, secara hierarki, kedudukan Ketetapan MPR berada di bawah Undang-Undang Dasar dan di atas Undang-Undang. Artinya, tidak boleh ada satu pun amanat mengenai pembaruan agraria dalam Ketetapan MPR tersebut yang tidak ditindaklanjuti.

"Hal ini dimaknai bahwa segala ketentuan Undang-Undang mengenai pembaruan agraria harus tunduk pada Ketetapan MPR RI Nomor IX/MPR/2001. Tidak boleh ada satupun pasal atau substansi Undang-Undang yang bertentangan dengan muatan materi yang ditetapkan dalam Ketetapan MPR tersebut," ujar Bamsoet dalam diskusi 'Konflik Agraria dan Perlindungan Tanah Adat Ditinjau dari UU Ciptakerja', secara virtual di Jakarta, belum lama ini.

Lebih lanjut dijelaskan, secara substansi, Ketetapan MPR Nomor IX/MPR/2001 telah memotret berbagai persoalan yang menjadi isu utama dalam bidang pengelolaan agraria. Secara tegas juga menugaskan DPR bersama Presiden untuk segera menindaklanjuti pelaksanaan pembaruan agraria, menjadikan Ketetapan MPR tersebut sebagai landasan kebijakan, serta mencabut, mengubah dan/atau mengganti undang-undang dan peraturan pelaksanaan yang tidak sejalan dengan Ketetapan MPR tersebut.

Baca Juga: Istimewa! Tingkatkan Layanan, Lamongan Digitalisasi Arsip

Kepala Badan Bela Negara FKPPI ini menerangkan, amanat Ketetapan MPR tersebut juga selaras dengan ketentuan Pasal 18B Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pada prinsipnya menyatakan bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya, sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Wakil Ketua Umum KADIN Indonesia ini menilai, lambatnya realisasi amanat Ketetapan MPR tersebut cukup ironis. Mengingat isu pembaruan agraria adalah salah satu persoalan krusial. Data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat sepanjang tahun 2020 telah terjadi 241 kasus konflik agraria dengan korban dari dampak konflik sebanyak 135.332 kepala keluarga. Termasuk korban kekerasan sebanyak 169 orang (19 korban dianiaya, 139 korban kriminalisasi dan 11 korban tewas).

"Jika dihitung pada periode 2015 hingga 2020, jumlah konflik agraria di tanah air mencapai angka 2.288 kasus, dengan catatan jumlah korban dianiaya sebanyak 776 orang, 1.437 korban kriminalisasi, dan 66 korban tewas. Ini tentunya menjadi catatan penting sekaligus keprihatinan kita bersama, bahwa di sebuah negara demokrasi yang mempunyai Pancasila, dengan luas wilayah daratan 1,9 juta kilometer persegi, masih banyak terjadi konflik agraria," ucap Bamsoet.

Baca Juga: Yuhronur Efendi Ajak Jama’ah Masjid Al Falah Doakan Awak KRI Nanggala 402

Wakil Ketua Umum Pemuda Pancasila ini menambahkan, secara umum dapat dipetakan beberapa faktor yang dapat memicu lahirnya konflik pertanahan. Antara lain adanya aturan yang masih tumpang tindih, penyelesaian birokrasi yang masih berbelit-belit, serta masih adanya dua kesenjangan yang mencolok.

Sementara itu, mantan Sekjen BPN M Noor Marzuki mengungkapkan, banyak faktor yang membuat konflik agraria terus bertambah. Tetapi faktor utamanya adalah lemahnya birokrasi kementerian terkait dalam menyelesaikan konflik.

Kementerian ATR/BPN dianggap tidak memiliki demografi data faktual untuk dapat menuntaskan konflik. "Kementerian harus tahu, letak, batas dan luas tanah yang disengketakan. Bagaimana bisa kementerian menyelesaikan masalah kalau tidak punya data," tutur Noor Marzuki.

Baca Juga: Ciptakan Kebiasaan Anak Berprestasi, Lamongan Gelar Sab'ah Lomba Virtual

Selain itu, Kementerian ATR/BPN juga harus dapat memetakan tanah-tanah yang memiliki potensi ekonomi tinggi. Pasalnya, tanah tersebut berpotensi menjadi sumber konflik. "Ini penting dibuat catatan. Tanah-tanah yang miliki potensi ekonomi harus diperhatikan secara serius oleh kementerian. Sebab itu sumber konfliknya," pungkas Tim Ahli Wakil Presiden RI ini.***

Editor: Nugroho


Tags

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x