Kisah Pangeran Diponegoro: Perang Jawa 1825, Garis Takdir Sang Singa Mataram

- 11 November 2021, 20:05 WIB
Ilustrasi Pangeran Diponegoro. Tangkapan Layar YouTube/@MARKEMPROSS
Ilustrasi Pangeran Diponegoro. Tangkapan Layar YouTube/@MARKEMPROSS /

LAMONGAN TODAY - Pangeran Diponegoro adalah salah satu dari banyak pahlawan nasional Republik Indonesia.

Beliau lah yang memimpin Perang Jawa selama periode tahun 1825 sampai tahun 1830. Sejarah mencatat, Perang Jawa ini dikenal sebagai perang yang menelan korban terbanyak dalam sejarah perjuangan melawan Bangsa Belanda.

Pangeran Haryo Diponegoro lahir di Yogyakarta pada tanggal 11 November tahun 1785 dari ibu yang merupakan seorang selir atau garwo ampean bernama Raden Ayu Mangkorowati dari Pacitan dan Ayahnya bernama Raden Mas Surojo atau dikenal sebagai Sultan Hamengkubuwono III.

Baca Juga: AHY 'Bungakam' KSP Moeldoko: Kami Yakin Ditolak, Karena Gugatan Sangat Tidak Masuk Akal

Pangeran Diponegoro sewaktu dilahirkan bernama Raden Mas Mustahar dan memiliki gelar nama Bendoro Raden Mas Ontowiryo dan nama Islamnya adalah Abdul Khamid.

Ketika dewasa Pangeran Diponegoro pernah menolak keinginan sang ayah yakni Sultan Hamengkubuwono III untuk menggantikannya menjadi raja.

Hal ini karena Pangeran Diponegoro menyadari posisi ibunya bukanlah sebagai permaisuri. Dalam pandangan beliau, ada yang lebih berhak dibandingkan dengan beliau.

Baca Juga: PENTING! Ini Akibat Anda Telat Bayar Pajak

Pangeran Diponegoro dikenal sebagai pribadi yang cerdas, banyak membaca dan ahli di bidang hukum Jawa Islam.

Beliau juga lebih tertarik pada masalah-masalah keagamaan ketimbang masalah pemerintahan keraton, serta lebih senang membaur dengan rakyat.

Sang Pangeran juga lebih memilih tinggal di Tegalrejo berdekatan dengan tempat tinggal Eyang Buyut Putrinya yang bernama Gusti Kanjeng Ratu Tegalrejo, Permaisuri dari Sultan Hamengkubuwono I, daripada tinggal di keraton.

Baca Juga: AMPD Surabaya Kenang Pahlawan Sebagai Suri Tauladan Generasi Muda

Pangeran Diponegoro mulai menaruh perhatian pada masalah Keraton, ketika dirinya ditunjuk menjadi salah satu anggota perwalian untuk mendampingi Sultan Hamengkubuwono V lasa tahun 1822, yang saat itu baru berusia tiga tahun.

Karena baru berusia tiga tahun, pemerintahan keraton sehari-hari dikendalikan oleh Patih Danurejo dan Residen Belanda.

Bendoro Raden Mas Mustahar atau Raden Mas Ontowiryo atau Pangeran Haryo Diponegoro setidaknya pernah mendengar tiga ramalan tentang posisi dan perannya dalam masyarakat Jawa menjelang awal abad ke-19.

Baca Juga: Terjawab! Bukan Pak Ansori, Ternyata Sosok Pedagang Nanas Aris Salim Orang Pertama Selamatkan Gala

Saat beliau masih dalam asuhan ibundanya, yaitu Raden Ayu Mangkorowati, beliau mendengar ramalan dari buyutnya, yaitu Sri Sultan Hamengkubuwono I atau Pangeran Mangkubumi, pendiri Kesultanan Yogyakarta tersebut, meramal bahwa Diponegoro kelak bakal menimpakan kerusakan yang lebih dahsyat, dibandingkan dengan apa yang yelah dia buat, selama menjelang era perjanjian Giyanti.

Namun, hanya Gusti Allah yang mengetahui hasilnya kelak. Pangeran Diponegoro juga kerap ditemukan pada ramalan Sultan Agung Hanyokrokusumo, sang raja legendaris Kesultanan Mataram Islam, yang menyatakan bahwa Belanda akan berkuasa atas tanah Jawa, selama kurang lebih 300 tahun setelah beliau mangkat.

Dalam periode itu, akan tampil seorang dari anak turunnya kelak, yang akan mengangkat senjata dan mengobarkan perang besar kepada bangsa para penjajah tersebut, meskipun pada akhirnya akan menuai kekalahan bulat.

Baca Juga: Targetnya 1 Vaksin, 1 Nyawa, Pemerintah Dikabarkan Gelar Vaksin Paksa pada Februari 2022, Cek Faktanya

Ramalan yang paling berpengaruh besar pada diri sang pangeran, beliau dengar sendiri ketika beliau sedang bersemedi di Parang Kusumo, Pantai Laut Selatan, pada sekitar tahun 1805 atau ketika Sang Pangeran berusia kurang lebih 20 tahun.

Sebuah suara tanpa rupa, memberitahukan kepada sang pangeran bahwa dirinya telah digariskan untuk bangkit melawan, meskipun pada ujungnya, beliau akan menerima kekalahan pula.

Perang Diponegoro atau yang juga dikenal dengan sebutan Perang Jawa adalah perang besar yang berlangsung selama lima tahun di Pulau Jawa.

Baca Juga: Jungkook Impact! Dicover Jungkook BTS, Dongkrak Penjualan Lagu Harry Styles hingga 379 Persen

Perang ini merupakan salah satu pertempuran terbesar yang pernah dialami oleh Belanda, selama masa pendudukannya di Nusantara.

Perang ini melibatkan pasukan Belanda di bawah pimpinan Jenderal Hendrik Merkus de Kock, yang berusaha meredam perlawanan penduduk Jawa di bawah pimpinan Pangeran Diponegoro.

Akibat perang ini, penduduk Jawa yang tewas mencapai 200.000 jiwa, sementara korban tewas di pihak Belanda berjumlah 8.000 tentarq Belanda dan 7.000 serdadu pribumi dan kerugian materi sebanyak 25 juta gulden.

Baca Juga: Lagu Setia Milik Jikustik Bangkit, Kali Ini Dibawakan Rando Sembiring

Berkebalikan dari perang yang dipimpin oleh Raden Ronggo 15 tahun sebelumnya, pasukan Jawa kali ini juga menempatkan masyarakat Tionghoa di tanah Jawa sebagai target penyerangan.

Namun, meskipun Pangeran Diponegoro secara tegas melarang pasukannya untuk bersekutu dengan masyarakat Tionghoa.

Sebagian pasukan Jawa yang berada di pesisir Utara, sekitar Rembang dan Lasem juga menerima bantuan dari penduduk Tionghoa setempat, yang rata-rata beragama Islam.

Baca Juga: Fakata 'Shang-Chi and The Legend of The Ten Rings' Hadirkan Aksi Visual yang Mengagumkan

Perseteruan pihak Keraton Jawa dengan Belanda dimulai sejak kedatangan Marsekal Herman William Daendels di Batavia pada tanggal 5 Januari tahun 1808.

Meskipun Ia hanya ditugaskan untuk mempersiapkan Jawa sebagai basis pertahanan Perancis melawan Inggris, namun Daendels juga mengubah etiket dan tata upacara, yang menyebabkan kebencian dari pihak Keraton Jawa.

Ia memaksa pihak Keraton Yogyakarta untuk memberinya akses terhadap sumber daya alam dan manusia, untuk membangun jalur antara Anyer hingga Panarukan.

Baca Juga: Tegang! Kekasih Rachel Vennya, Salim Nauderer Terlibat Cekcok dan Nyaris Baku Hantam

Hingga akhirnya, terjadi insiden perdagangan kayu jati di daerah mancanegara, yang menyebabkan terjadinya pemberontakan Raden Ronggo.

Setelah kegagalan pemberontakan Raden Ronggo, Daendels memaksa Sultan Hamengkubuwono II membayar kerugian perang, serta melakukan berbagai pengingat lain, yang menyebabkan terjadinya perseteruan antara keluarga Keraton.

Namun, pada tahun yang sama, pasukan Inggris mendarat di Jawa dan mengalahkan pasukan Belanda. Meskipun pada mulanya, Inggris yang dipimpin oleh Thomas Stamford Raffles memberikan dukungan kepada Sultan Hamengkubuwono II, pasukan Inggris ini, akhirnya menyerbu Keraton Yogyakarta, yang menyebabkan Sultan Hamengkubuwono II turun tahta secara tidak hormat dan digantikan oleh putra sulungnya, yaitu Sri Sultan Hamengkubuwono III.

Baca Juga: Kondisi Suami Semakin Memburuk, Oki Setiana Dewi Pending Pernikahan Ria Ricis

Inggris memerintah hingga tahun 1815 dan mengembalikan Jawa kepada Belanda, sesuai isi perjanjian Wina di bawah Gubernur Jenderal Belanda Van Der Capellen.

Pad masa pemerintahan Inggris, Sri Sultan Hamengkubuwono III wafat dan digantikan putranya, adik tiri Pangeran Diponegoro, yaitu Sri Sultan Hamengkubuwono IV yang berusia 10 tahun.

Sementara itu, Pangeran Notokusumo menjadi adipati di Kadipaten Pakualaman, sekaligus sebagai wali raja. Sedangkan Patih Danurejo III bertindak pula sebagai wali raja.

Pada tanggal 6 Desember tahun 1822, Sri Sultan Hamengkubuwono IV meninggal dunia pada usia 19 tahun. Ratu Ageng dan Gusti Ratu Kencono, memohon dengan sangat kepada Pemerintah Belanda untuk mengukuhkan putra Sultan Hamengkubuwono IV, yang masih berusia II tahun untuk menjadi Sri Sultan Hamengkubuwono V, serta tidak lagi menjadikan Pakualam sebagai Wali Raja.

Pangeran Diponegoro selanjutnya diminta menjadi wali bagi keponakannya tersebut bersama dengan Pangeran Mangkubumi.

Presiden baru Yogyakarta, yaitu Congker Anthonie Hendriks bertindak keterlaluan dengan terlibat dalam penunjukan Sultan pada bulan Juni tahun 1823.

Pangeran Diponegoro memang tetap menerima posisi sebagai wali Sultan bersama Mangkubumi, Ratu Ageng dan Ratu Kencono.

Namun, posisi Pangeran Diponegoro semakin tidak dianggap.

Tanggal 29 Oktober 1824, Pangeran Diponegoro mengadakan pertemuan di rumahnya yang berada di Tegalrejo untuk membahas mengenai kemungkinan pemberontakan pada bulan Agustus.

Pangeran Diponegoro membulatkan tekad untuk melakukan perlawanan dengan membatalkan pajak puasa, agar para petani Tegalrejo dapat membeli senjata dan makanan.

Pembangunan jalan yang dilakukan dari Yogyakarta ke Magelang, patok-patok jalan yang dipasang oleh orang-orang kepatihan melintasi makam leluhur Pangeran Diponegoro.

Perseteruan terjadi antara para petani penggarap dengan anak buah Patih Danurejo. Patok-patok yang telah dicabut kembali dipasang, sehingga Pangeran Diponegoro menyuruh mengganti patok-patok tersebut dengan tombak sebagai pernyataan perang.

Pada hari Rabu tanggal 20 Juli tahun 1825, pihak istana mengutus dua bupati kroto senior yang memimpin pasukan Jawa Belanda untuk menangkap Pangeran Diponegoro dan Mangkubumi di Tegalrejo.

Meskipun kediaman Pangeran Diponegoro jatuh dibakar, sebagian besar pengikutnya berhasil lolos karena lebih mengenal medan di Tegalrejo.

Pangeran Diponegoro beserta pasukannya bergerak ke Barat hingga desa Deksondi Kabupaten Kulon Progo dan meneruskan ke arah Selatan, hingga keesokan harinya tiba di Goa Selarong, yang terletak lima Kilometer ke arah Barat Daya dari kota Bantul.

Pangeran Diponegoro kemudian menjadikan Goa Selarong sebagai basisnya. Penyerangan di Tegalrejo itulah yang menjadi awal Perang Diponegoro yang berlangsung selama lima tahun kedepan.

Pangeran Diponegoro memimpin masyarakat Jawa dari kalangan Petani hingga golongan priyayi. 15 dari 19 pangeran bergabung dengan Pangeran Diponegoro.

Pada perkembangannya, perjuangan Pangeran Diponegoro juga dibantu oleh Kyai Mojo yang juga menjadi pemimpin spiritual perlawanan.

Dalam perang Jawa ini, Pangeran Diponegoro juga berkoordinasi dengan Sunan Pakubuwono VI, serta Raden Tumenggung Prawirodigdoyo, Bupati Gagatan.

Bagi Pangeran Diponegoro dan para pengikutnya, perang ini merupakan perang jihad melawan Belanda. Sebagai seorang muslim yang sholeh, Pangeran Diponegoro merasa tidak senang dengan religiusitas yang kendur di Istana Yogyakarta akibat pengaruh Belanda.

Di samping pula, kebijakan-kebijakan pro Belanda yang dikeluarkan oleh istana. Infiltrasi pihak Belanda di istana telah membuat Keraton Yogyakarta seperti rumah bordir.

Pertempuran terbuka dengan pengerahan pasukan infantri, kavaleri dan artileri yang sejak perang Napoleon menjadi senjata andalan dalam pertempuran perang frontal di kedua belah pihak berlangsung dengan sengit.

Front pertempuran terjadi di puluhan kota dan desa di seluruh Jawa. Pertempuran berlangsung sedemikian sengitnya, sehingga bila suatu wilayah dapat dikuasai oleh pasukan Belanda pada siang hari, maka pada malam harinya, wilayah itu sudah direbut oleh pasukan pribumi, begitu pula sebaliknya.

Jalur-jalur logistik dibangun dari satu wilayah ke wilayah lain untuk menyokong keperluan perang. Berpuluh-puluh kilang mesiu dibangun di tengah hutan dan di dasar jurang.

Produksi mesiu dan peluru berlangsung terus menerus, sementara peperangan semakin berkecamuk. Para telik sandi dan kurir bekerja keras mencari dan menyampaikan informasi yang diperlukan untuk menyusun strategi perang.

Informasi mengenai kekuatan musuh, jarak tempuh dan waktu, kondisi medan, curah hujan menjadi berita utama. Karena taktik dan strategi yang jitu, hanya dapat dibangun melalui penguasaan informasi.

Serangan demi serangan rakyat pribumi selalu dilaksanakan pada bulan-bulan hujan, para Senopati menyadari sekali untuk bekerjasama dengan alam sebagai senjata tak terkalahkan.

Bila musim penghujan tiba, Gubernur Belanda akan melakukan usaha-usaha untuk gencatan senjata dan berunding.

Karena hujan tropis yang deras membuat gerakan pasukan mereka terhambat. Penyakit malaria, disentri dan sebagainya merupakan musuh yang tak nampak. Melemahkan moral dan kondisi fisik, bahkan merenggut nyawa pasukan mereka.

Ketika gencatan senjata terjadi, Belanda akan mengkonsolidasikan pasukan dan menyebarkan mata-mata. Provokator mereka bergerak di desa-desa ke kota. Menghasut, memecah-belah dan bahkan mereka anggota keluarga para Pangeran dan para pemimpin perjuangan rakyat yang berjuang di bawah komando Pangeran Diponegoro.

Namun, para pejuang pribumi tersebut tidak gentar dan tetap berjuang melawan Belanda. Pada pertempuran di Plered, yang berkecamuk pada tanggal 9 Juni tahun 1826 merupakan salah satu pertempuran terburuk selama masa perang Jawa.

Sekitar 2.000 laskar Pangeran Diponegoro bertahan di dalam benteng keraton bekas istana pada masa pemerintahan Amangkurat I.

Tembok setinggi 7 meter yang membentang tersebut, menjadi saksi bisu gugurnya ribuan laskar Diponegoro, tempat yang sama sekitar 100 tahun sebelumnya, juga menjadi saksi 5.000 lebih ulama dan rakyat Mataram dibantai oleh Amangkurat I karena mendukung Pangeran Alit.

Pada tahun 1827, Belanda melakukan taktik penyerangan terhadap pasukan Pangeran Diponegoro, dengan menggunakan sistem benteng.

Taktik ini digunakan untuk menjepit lagi pasukan Pangeran Diponegoro. Pada tahun 1829, Kyai Mojo, pemimpin perlawanan spiritual ditangkap.

Menyusul kemudian Pangeran Mangkubumi dan panglima utamanya Alibasyah Sentot Prawirodirjo. Akhirnya, pada hari kedua lebaran, yaitu tanggal 2 Syawal 1245 Hijriyah atau tanggal 28 Maret tahun 1830, Belanda menangkap sang pangeran dan memisahkannya dari para pengikutnya.

Penangkapan di Magelang ini, dilakukan secara licik, karena Belanda membungkus jebakan pertemuan tersebut sebagai pertemuan silaturahmi dan perundingan.

Sehingga, kala itu sang pangeran tetap berprasangka baik. Sang pangeran tidak menduga Belanda akan melakukan penangkapan dengan cara-cara kotor di saat lebaran.

Apalagi, sebelumnya di kala bulan puasa terjadi gencatan senjata dan Belanda kala itu juga bersepakat tidak mengganggu sang pangeran dan para pengikutnya yang sedang menjalani jbadah Ramadhan di kawasan Bukit Menoreh.

Rupanya, Letnan Jenderal de Kock telah mengatur jebakan dan strategi penangkapan detail dengan pasukan yang lengkap termasuk kereta dan perlengkapan lainnya, yang akan membawa sang pangeran menuju ke Batavia, hingga skenario pengasingannya di Sulawesi.

Sementara sang pangeran hanya membawa orang-orang kepercayaannya dan beberapa pengikut ala kadarnya.

Akhirnya, jebakan kotor di hari lebaran tersebut, mengakhiri api kemelut Perang Jawa yang berkobar selama lima tahun terakhir.

Perang besar yang banhak menyatukan golongan ningrat dan jelata, bahkan hampir menggerakkan perlawanan dari sebagian besar rakyat Jawa kala itu, perang yang banyak membuat serdadu Belanda meregang nyawa dan membuat keuangan kolonial itu tiris dan nyaris habis.

Berakhirnya perang Jawa, merupakan akhir dari perlawanan bangsawan Jawa kala itu. Perang Jawa bajyaknmemakan korban di kedua belah pihak.

Setelah perang berakhir, diperkirakan penduduk Kota Yogyakarta menyusut hingga separuh. Karena bagi sebagian orang di Keraton Yogyakarta, Pangeran Diponegoro dianggap sebagai seorang pemberontak.

Konon, keturunan Pangeran Diponegoro tidak diperbolehkan lagi masuk ke dalam keraton, hingga Sri Sultan Hamengkubuwono IX memberi amnesti bagi keturunan Pangeran Diponegoro dengan mempertimbangkan semangat kebangsaan yang dipunyai oleh Pangeran Diponegoro kala itu.

Pada tahun 1932, setelah perang besar ini berakhir, seluruh raja dan bupati di Jawa tunduk dan menyerah kepada Belanda, kecuali Bupati Ponorogo, Warok Brotodiningrat III, yang justru hendak menyerang seluruh kantor Belanda yang berada di Kota-kota Karesidenan Madiun dan di Jawa Tengah, seperti Wonogiri dan Karanganyar, yang banyak dihuni oleh para warok.

Menurut catatan Belanda, para warok tersebut memiliki skill berperang dan ilmu kebal yang tidak seimbang bagi pasukan Belanda.

Maka dari itu, untuk menghindari hal yang merugikan pihak Belanda, terjadilah kesepakatan untuk bdibuatkan kantor bupati di pusat Kota Ponorogo, serta fasilitas penunjang seperti jalan beraspal, rel kereta api, kendaraan langsung dari Eropa seperti mobil, motor, hingga sepeda angin.

Maka tidak heran, hingga saat ini, kota dengan jumlah sepeda tua terbanyak berada di Ponorogo, yang kala itu digunakan oleh para warok.

Atas penghormatan jasa-jasa Pangeran Diponegoro melawan penjajahan Hindia Belanda, pada masa pemerintahan Presiden Soekarno, pemerintah pernah memperingati Haul Nasional memperingati 100 tahun wafatnya Pangeran Diponegoro, pada tanggal 8 Januari tahun 1955.

Sedangkan pengakuan sebagai pahlawan nasional, diperoleh Pangeran Diponegoro pada November tahun 1973.

Penghargaan tetinggi, justru diberikan oleh dunia pada tanggal 21 Juni tahun 2013. UNESCO menetapkan Babad Diponegoro sebagai warisan ingatan dunia atau Memory of The World.

Babad Diponegoro merupakan naskah klasik, yang dibuat sendiri oleh Pangeran Diponegoro ketika diasingkan di Manado, Sulawesi Utara pada tahun 1832 sampai tahun 1833.

Babad ini, bercerita mengenai kisah hidup Pangeran Diponegoro, yang memiliki nama asli Raden Mas Ontowiryo.

Selain itu, untuk mengenang jasa Pangeran Diponegoro dalam perlawanannya, didirikanlah museum monumen Pangeran Diponegoro atau yang lebuh dikenal dengan sebutan Sasono Wirotomo di Tegalrejo, yang menempati bekas kediaman Pangeran Diponegoro.

Demikian sekelumit ulasan tentang kemelut Perang Jawa dan Pangeran Haryo Diponegoro. Semoga ulasan ini, dapat menambah wawasan kita, akan warna-warni sejarah Nusantara.***

Editor: Achmad Ronggo

Sumber: YouTube/@MARKEMPROSS


Tags

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x