Apa Itu Healthy Negativity? Yuk Kenalan

- 26 Januari 2021, 22:29 WIB
Pixaba/RyanMcGuire
Pixaba/RyanMcGuire /

LAMONGAN TODAY - Zaman sekarang hampir semua manusia di muka bumi ini mempunyai dan menggunakan media sosial. Baik untuk menjalin komunikasi, mencari teman, bekerja, atau surfing di dunia maya.

Ungkapan “good vibes only” “Be happy” “positive attitude” sudah tidak susah lagi untuk ditemukan. Hampir semua orang menggunakan ungkapan tersebut untuk menyalurkan emosi positif baik untuk dirinya sendiri ataupun orang disekitarnya.

Memiliki pikiran positif memang tidaklah salah apabila penggunanya mampu mengelola dengan benar emosi positif tersebut.

Baca Juga: Memasuki Puncak Musim Hujan, BMKG: Waspada Potensi Bencana Hidrometeorologi

Tapi, fyi terlalu banyak menerima emosi positif juga tidak baik dan bahkan bisa membahayakan. Sikap positif yang berlebihan ini biasa disebut dengan Toxic Positivity, yang mana adalah pikiran positif yang selalu dianggap sebagai penyemangat ketika menghadapi masa-masa sulit.

“gapapa, baru juga kaya gini banyak ko yang lebih kurang dari aku” “kamu masih lebih beruntung dari yang lainnya”, Ungkapan-ungkapan tersebut yang sering kita temukan di media sosial atau yang kita dapatkan dari orang terdekat kita.

Bahkan diri kita sendiri kadang juga sering mengucapkan hal tersebut sebagai pegangan ketika terjatuh.

Baca Juga: Alhamdulillah! Pemerintah akan Perpanjang Program Bansos Ini pada 2021

Tapi kenapa sih kita harus selalu memilih untuk bersikap positif atas semuanya? Kenapa kita ga  mulai untuk belajar merangkul kegagalan kita?

Alih-alih mengucapkan  “gapapa baru segini aja masih ada yang kurang beruntung dari aku”, coba deh ganti jadi ”yah gagal, gapapa deh hidup emang penuh penderitaan ketawain aja”, coba rasakan bagaimana efeknya dengan kita merangkul kegagalan tersebut.

Sikap mengungkapkan emosi negatif ini lebih dikenal dengan Healthy Negativity. Apa itu?

Baca Juga: Honda CBR 150R Terbaru, Apa Saja Ubahannya? Simak Selengkapnya

Apa Itu Healthy Negativity

Psikolog klinis Personal Growth, Gracia Monika, M.Psi., Psi., mengungkapkan bahwa healthy negativity terjadi ketika seseorang merespon dan mengelola emosi negatif baik itu dari pengalaman maupun situasi yang dialaminya dengan cara yang tepat dan sehat. Karena ternyata tidak semua emosi negatif itu berakibat buruk.

Ketika seseorang mengalami kejadian atau memiliki pengalaman yang tidak menyenangkan, normal bagi kita untuk merasa sedih, marah ataupun kecewa.

Reaksi ini normal dan natural yang bisa dialami oleh siapapun. Alih-alih menyangkal atau menolak, menerima emosi negatif ini mampu membantu kita untuk menangani emosi dalam diri kita sendiri.

Baca Juga: Waspada! Kasus Covid-19 di Indonesia Tembus 1 Juta, Presiden Gelar Rapat Terbatas

Emosi memberikan kita informasi untuk membantu kita memahami tentang apa yang terjadi dan bagaimana kita harus menyikapi hal tersebut, sehingga kita tahu apa yang harus dan sebaiknya kita lakukan.

Perbedaan Toxic Positivity dan Healthy Negativity

Lalu apa bedanya kedua istilah tersebut? bukankah sama saja? Sama-sama memberikan efek positif akhirnya?

Toxic Positivity dan Healthy Negativity merupakan hal yang berbeda.

Baca Juga: Posting Foto, Zaskia Gotik Ramai Disebut Mirip Asmirandah Oleh Warganet

Toxic Positivity merupakan pola pikir yang hanya terfokus pada hal-hal yang berbau positif.

istilah ini memaksa kita untuk menolak dan menyangkal hal-hal yang berbau negatif . seseorang dengan perilaku Toxic Positivity cenderung untuk menghindari bahkan mengabaikan emosi negatif yang dirasakan.

Berkebalikan dengan hal di atas,  Healthy Negativity merupakan pola pikir yang bersedia untuk menerima emosi negatif yang dirasakan dan mengelola emosi tersebut dengan cara yang tepat dan sehat.

Baca Juga: Viral! Nekat Buang Sampah ke Laut, Wanita Ini Tuai Banyak Kecaman Warganet

Karena jika seseorang terus menerus menyangkal dan menghindari emosi negatif yang dirasakannya emosi tersebut akan menumpuk dan pada akhirnya akan meledak yang dampaknya malah akan semakin besar.

Emosi Negatif Itu Wajar

Setiap orang memerlukan waktunya sendiri untuk dapat menerima dan mengelola emosi negatif yang dirasakannya.

Contohnya seperti ketika kita ditinggal orang yang kita sayangi atau kita gagal dalam melakukan sesuatu, kita pasti merasa sedih dan adalah hal yang wajar ketika kita menangis saat kita merasa sedih, tidak bisa kita dipaksa untuk merasa tidak sedih.

Baca Juga: Comeback, Bobby Tampilkan Aksi Bela Diri di MV U MAD

Kita perlu waktu untuk meluapkan kesedihan kita, tapi bukan berarti kita terus menerus larut dalam kesedihan.

Begitu juga ketika ada orang terdekat kita, baik itu keluarga atau teman. Entah di dunia maya atau di dunia nyata, ketika kita tahu mereka sedang mengalami hal yang tidak menyenangkan.

Hal pertama yang harus kita lakukan adalah berempati. Menerima keadaan mereka, bersedia meminjamkan telinga, menjadi pendengar yang baik tanpa menghakimi, sehingga mereka mampu memproses apa yang terjadi dan mengelola emosi dari peristiwa tersebut.***

Editor: Furqon Ramadhan

Sumber: Berbagai Sumber


Tags

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x