Moeldoko Menerima jabatan Ketum Demokrat versi KLB adalah tindakan tidak bermoral

6 Maret 2021, 12:42 WIB
Moeldoko. /ANTARA FOTO/Endi Ahmad

LAMONGAN TODAY - KSP Moeldoko didapuk sebagai Ketua Umum Partai Demokrat versi Kongres Luar Biasa (KLB).

Pemilihan sekaligus diterimanya jabatan ini disayangkan oleh berbagai pihak.

Akademisi dari Universitas Katolik Widya Mandira (Unwira) Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT) Mikhael Raja Muda Bataona mengatakan Moeldoko seharusnya menolak tawaran sebagai Ketua Umum Partai Demokrat hasil KLB.

Baca Juga: Emil Dardak tegaskan tak beri dukungan KLB: Seluruh Ketua DPD solid dukung AHY

Hal itu, membiarkan opsi win win solution di antara para kader yang dipecat dengan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

"Dari sana, mungkin Moelodoko akan dipandang sebagai simbol pemersatu yang di kemudian hari bisa saja masuk dalam jajaran tokoh di internal Demorkat kemudian menjadi Ketua Umum dengan cara yang fair dan demokratis," kata pengajar investigatif news dan jurnalisme konflik pada Fisip Unwira Kupang, di Kupang, Sabtu dikutip dari Antara.

Menurut dia, dengan melakukan blunder politik seperti ini, Moeldoko secara langsung telah menyeret Kabinet Jokowi ke dalam kisruh Partai Demokrat, bahkan stigma buruk masyarakat akan makin kuat menyebut ini sebagai skenario penguasa.

Baca Juga: Masih Berstatus Siaga, Gunung Merapi Semprotkan Lava Pijar hingga Sejauh 1 KM Sebanyak 13 Kali

Padahal friksi internal Demokrat, meski tanpa variabel Jokowi dan kekuasaan pun memang sudah ada potensinya, di mana, sejarah partai ini sejak era Anas memang sudah penuh faksi dan friksi.

Hanya saja selama ini tidak pernah ter-"publish" dan diwacanakan secara besar-besaran seperti saat ini.

Moeldoko harusnya paham bahwa intergitasnya sebagai tokoh diukur dari tindakannya saat ini.

Baca Juga: Setelah 15 Tahun, Drama Korea Princess Hours Akan Dibuat Ulang

Dengan menjadi Ketua Umum Partai Demokrat hasil KLB, Moeldoko sudah pasti disebut tidak bermoral, sebab meski tidak tertulis tetapi moralitas dipahami dan dihayati oleh semua politisi sebagai sesuatu yang mahal dan mulia.

Karena mahal dan mulia, moralitas itulah yang mengikat semua politisi yang ingin dikenang sebagai negarawan.

Moeldoko rupanya lupa bahwa Moralitas adalah hukum yang "given dan non negotiable" dalam politik.

Baca Juga: Kemendikbud Perpanjang Penerimaan Kuota Gratis, Ini Syaratnya Jangan Sampai Terlewat

Dalam moralitas inilah akan nampak dimensi-dimensi metafisis yang tidak bisa terkatakan tetapi hanya bisa dirasakan ketika seorang politisi melakukan sesuatu yang dilandasi oleh sikap ksatria dan jiwa besar.

"Dengan melakukan itu maka yang akan nampak di sana adalah kehormatan," tambah pengajar Ilmu Komunikasi Politik dan Teori Kritis pada Fakultas Ilmu Sosial Politik Unwira itu.

Artinya dalam kasus KLB Demokrat ini, tokoh sekaliber Moeldoko sedang kehilangan kehormatannya di mata publik karena wacana dominan yang ada di ruang publik saat ini adalah tentang moralitas politik itu.

Baca Juga: Bamsoet Akui Kinerja Polres Jakarta Barat, Lho Kenapa?

"Jadi menurut saya, apa yang dilakukan Moeldoko adalah ekspresi amoralitas politik.Mengapa amoral secara politik? karena dalam politik yang paling brutal sekalipun, ada batasannya, yaitu moralitas," katanya.

Artinya, selama Moeldoko terlibat dalam kisruh ini karena dibawa serta oleh gerbong Jony Allen dan kawan-kawan yang dipecat AHY, sebagai hal yang wajar, tetapi menerima posisi sebagai Ketua Umum hasil KLB adalah sesuatu yang tidak bermoral dan tidak berkelas sebagai seorang gentleman, katanya menambahkan.

"Moralitas adalah sesuatu yang non-negotiable atau sesuatu yang tidak bisa dikompromikan. Anda boleh menyerang lawan politik anda dan mengalahkannya, tapi batasannya adalah moral," katanya.***

Editor: Nugroho

Sumber: ANTARA

Tags

Terkini

Terpopuler